ARTIKEL : Penanganan Bunuh Diri Dalam Konsep Disaster Management

oleh
oleh

Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas permintaannya. Setiap tahun hampir satu juta manusia di dunia mati karena bunuh diri. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan angka kematian rata-rata terjadi setiap 40 detik karena bunuh diri. Selama 45 tahun terakhir angka bunuh diri meningkat sebanyak 60 %, menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian ketiga terbesar yang terjadi pada usia 15-44 tahun pada beberapa negara. <p style="text-align: justify;">Angka ini belum termasuk percobaan bunuh diri yang mencapai 20 kali lebih sering dari pada kejadian bunuh diri. Ini menunjukkan bahwa lebih banyak orang mati karena bunuh diri dari pada konflik bersenjata yang terjadi di dunia. Di beberapa negara angka bunuh diri lebih banyak dari pada kematian karena kecelakaan lalu lintas.</p> <p style="text-align: justify;">Kasus bunuh diri di Indonesia saat ini masih tergolong relatif rendah dibandingkan dengan tingkat kasus bunuh diri di negara Asia maju seperti Jepang. Namun fenomena kasus bunuh diri di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Meskipun sampai saat ini belum ada data yang akurat, namun fakta dapat ditelusuri melalui publikasi tentang kasus bunuh diri dari berbagai sumber media. Peningkatan kuantitas bunuh diri ini disertai dengan cara dan faktor penyebab yang semakin beragam.<br /><br />Dulu angka bunuh diri didominasi terjadi pada orang dewasa, namun angka bunuh diri pada remaja saat ini semakin meningkat. Pria lebih sering melakukan bunuh diri dengan cara yang lebih fatal (completed suicide) sedangkan perempuan sering melakukan percobaan bunuh diri (attempted suicide). Banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi di tanah air dewasa ini, menjadi gambaran kondisi mental masyarakat Indonesia. Sehingga fenomena bunuh diri ini digolongkan sebagai bencana (disaster) kemanusiaan. Kerja keras membangun kesadaran akan pentingnya pencegahan bunuh diri (suicide prevention) dirasakan semakin terasa, ketika faktor yang membuat tertekannya kehidupan masyarakat semakin nyata. Perlu upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat bahwa bunuh diri merupakan ancaman serius, yang memerlukan manajemen penanganan multisektoral.<br /><br /><strong>Permasalahan</strong><br /><br />Angka kejadian bunuh diri yang terus meningkat membuktikan kondisi psiko di negara kita sedang mengalami sebuah gangguan. Kebijakan pemerintah dirasakan belum menyertakan program pencegahan bunuh diri sebagai prioritasnya. Disebabkan kurangnya kesadaran bahwa bunuh diri merupakan masalah besar yang mengancam kemanusiaan. Namun sejatinya, hal ini memerlukan campur tangan berbagai pihak, baik inovasi pemerintah di sektor kesehatan maupun pendekatan multisektoral seperti bidang pendidikan, kepolisian, tokoh agama, politisi, media, lingkungan/keluarga dan lainnya, bertujuan untuk menekan/menurunkan angka kejadian bunuh diri yang cenderung terus mengalami peningkatan.<br /><br /><strong>Tinjauan Teoritis Bencana Bunuh Diri</strong><br /><br />Bunuh diri adalah segala perbuatan yang disadari untuk mengakhiri hidup diri sendiri (Mental Health Nursing Practice, 1995). Biasanya bunuh diri dilakukan dengan cara-cara diantaranya dengan minum obat/racun, lompat/terjun dari ketinggian, membakar/gantung diri dan lain-lain sebagainya.<br /><br />Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan melalui media kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan dengan cara melompat dari lantai atas pusat perbelanjaan. Menurut psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia, Dra. Yati Utoyo Lubis MA. PhD, fenomena bunuh diri dengan korban begitu nekat mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari ketinggian di mal adalah bukti bahwa korban mencari pilihan yang gampang dan cepat dalam melepaskan nyawa. Gedung bertingkat atau lantai atas mal menjadi pilihan favorit bagi para korban karena di tempat-tempat seperti ini mereka yakin bahwa upaya bunuh diri akan berhasil. Memotong pembuluh darah mungkin akan terasa sakit tapi belum tentu akan berhasil.<br /><br />Fenomena bunuh diri juga dapat dipicu oleh suicide contagion atau bunuh diri yang menular. Pernah ada sebuah penelitian di Amerika Serikat bahwa di kalangan remaja terjadi suicide contaigion. Mereka melakukan bunuh diri hanya untuk mencoba-coba dan membuktikan dirinya hebat. Fenomena bunuh diri yang menular dapat pula dipicu oleh pemberitaan media yang tidak proporsional. Semakin sering suatu tempat diberitakan digunakan untuk bunuh diri, semakin banyak yang akan mencontoh. Hal ini karena memunculkan preokupasi (pikiran berulang) untuk bunuh diri, sehingga dapat memberi ilham metode bunuh diri.<br /><br /><strong>Tipe Bunuh Diri</strong><br /><br />Dalam bukunya Le Suicide (1987), Durkheim merumuskan dan menguraikan secara jelas tiga tipe bunuh diri. Pembagian ini, dapat menjelaskan berbagai kasus bunuh diri di Indonesia karena dinilai praktis, yaitu :<br /><br /></p> <ul> <li><strong>Bunuh diri egoistik. </strong></li> </ul> <p style="text-align: justify;">Terjadi akibat ketidakmampuan individu untuk berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini umumnya terjadi di kota besar, dimana masyarakat kota memiliki interaksi dan integrasi sosial yang relatif rendah. Bunuh diri egoistis terutama disebabkan oleh egoisme yang tinggi pada diri orang yang bersangkutan. Kalaupun ia berada dalam sebuah grup ia tidak total berada di dalamnya. Hidupnya tertutup untuk orang lain, cenderung memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri. Orang yang egoismenya tinggi ketika mengalami krisis tidak bisa menerima bantuan moral dari grupnya. Ia dengan mudah bisa terjerumus oleh sikapnya yang egois untuk mengakhiri hidupnya. Orang yang egois cenderung untuk melihat segala sesuatu dari ukurannya sendiri. <br /><br /></p> <ul> <li>Bunuh diri altruistik.</li> </ul> <p style="text-align: justify;">Terjadi akibat individu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun karena individu merasa bahwa kelompoknya mengharapkannya. Contohnya adalah hara-kiri di Jepang. Bunuh diri altruistis dipahami sebagai kebalikan dari bunuh diri egoistis. Individu terlalu berlebihan dalam integrasi dengan grup atau kelompoknya hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas. Pengintegrasian yang berlebihan biasanya berdimensi memandang hidup di luar grup atau dalam pertentangan dengan grup sebagai tidak berharga. Dalam konteks ini Durkheim mengambil contoh konkret orang yang suka mati syahid daripada menyangkal agamanya dan para prajurit dan perwira yang berani mati gugur demi keselamatan nusa dan bangsa.<br /><br /></p> <ul> <li><strong>Bunuh diri anomik.</strong></li> </ul> <p style="text-align: justify;"><br />Terjadi akibat individu kehilangan pegangan dan tujuan sehingga individu meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang biasa memotivasi dan mengarahkan perilakunya sudah tidak berpengaruh. Adapun penyebab yang sering dijumpai yaitu m usibah dalam bentuk apapun. Kehadiran musibah menghantam cita-cita, tujuan dan norma hidupnya sehingga ia mengalami kekosongan hidup. Pada kontek inilah, di Indonesia kasus bunuh diri meningkat tajam sehingga orang rela bunuh diri dengan membakar diri, gantung diri, minum racun dan sebagainya. Keadaan anomi melanda masyarakat karena adanya perubahan sosial yang terlalu cepat.<br /><br />Faktor Penyebab Bunuh Diri<br /><br />Faktor penyebab orang melakukan bunuh diri berkaitan dengan faktor psikologi, biologik, sosial-kultural, ekonomi, dan faktor lingkungan, yang menurut para ahli psikologi di antaranya adalah penyimpangan mental seperti gangguan mood (suasana hati), stres, konflik, frustrasi, dan depresi. Sejatinya tidak ada orang yang menginginkan kematian, yang ada adalah orang yang terperangkap dalam situasi dimana ia tidak dapat menemukan jalan keluarnya.</p> <p style="text-align: justify;">Dalam bidang ekonomi misalnya, akibat kemiskinan, rendahnya pendapatan, harga melambung tinggi, sehingga pengangguran telah membuat masyarakat tiba pada kulminasi kejenuhan. Bila melihat pada situasi masyarakat saat ini, bunuh diri sangat mungkin terjadi karena korban tidak menemukan jalan keluar dalam mengatasi rumitnya problem yang dihadapi. Kegagalan pemerintah memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat sedikit banyaknya berdampak pada tingkat frustasi masyarakat yang akhirnya muncul berbagai fenomena bunuh diri.<br /><br />Dalam beberapa kasus bunuh diri, bisa juga disebabkan oleh faktor atau dimotivasi faktor keyakinan agama dan politik tertentu yang tertanam kuat pada diri pelaku bunuh diri. Seperti pada kasus terorisme, orang yang melakukan bom bunuh diri memiliki keyakinan bahwa tindakannya adalah tindakan mulia dan bisa masuk surga. Faktor rendahnya religius juga merupakan salah satu faktor penyebab orang melakukan bunuh diri.<br /><br />Manajemen Penanganan Bencana Bunuh Diri<br /><br />Bunuh diri sebagai sebuah bencana kemanusiaan memerlukan penanganan yang serius dan terpadu dari berbagai pihak. Dalam hal ini pemerintah merupakan tulang punggung yang harus menjadi motor penggerak untuk meningkatkan kesadaran bagi masyarakat, bahwa bunuh diri tidak bisa dianggap sebagai kecelakaan atau kebetulan saja. Fenomena bunuh diri yang semakin sering terjadi hendaknya perlu disikapi sebagai ancaman serius apabila tidak ditangani secara tepat.<br />Dalam konsep penanganan bencana pada Disaster Management Cycle (Siklus Manajemen Bencana), terdapat pembagian tindakan yang digolongkan ke dalam tiga tahapan waktu. Yaitu pada tahap sebelum terjadinya bencana, pada saat terjadinya bencana, dan setelah terjadi bencana.<br />Pada konsep ini pemerintah melakukan berbagai langkah manajemen penanganan terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Langkah tindakan itu dapat diuraikan sebagai berikut :<br /><br /><strong>Sebelum Terjadinya Bunuh Diri (Upaya Pencegahan)</strong><br /><br />Meskipun bunuh diri menyangkut masalah kejiwaan yang rumit, sesungguhnya perilaku ini dapat dicegah. Untuk itu dilakukan langkah nyata, mengidentifikasi masalah dan menghilangkan sejak dini faktor-faktor yang menyebabkan bunuh diri. Termasuk mengenali orang-orang yang berada dalam golongan berisiko, cara menghadapi orang orang yang mempunyai niat atau pikiran untuk mati, kepada siapa mereka dapat meminta pertolongan pertama, dan bagaimana memobilisasi peran serta keluarga. <br /><br />Kebijakan Pemerintah<br /><br />Kebijakan pemerintah dinilai sudah mengadopsi standar keamanan di tempat-tempat umum seperti misalnya yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Hal ini merupakan bentuk pencegahan atau pengurangan resiko (mitigasi) kecelakaan maupun upaya bunuh diri yang dilakukan seseorang. Seperti adanya dinding pembatas di tempat-tempat parkir pusat perbelanjaan, termasuk dinding pembatas pada lantai atas sebuah mal.<br />Seminar/Simposium<br /><br />Untuk pertama kalinya dilaksanakan Simposium Nasional Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia pada tanggal 18-19 April 2009, diprakarsai oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang dilaksanakan di Hotel Sheraton Surabaya. Tujuan simposium ini untuk menggugah seluruh lapisan masyarakat dalam mengatasi masalah perilaku bunuh diri yang terjadi di masyarakat. Pada acara tersebut narasumber menyampaikan materi diantaranya yaitu Kejadian dan Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia, Peran Masyarakat di Indonesia Dalam Pencegahan Bunuh Diri, dan Faktor Sosio Kultur Spiritual Pada Bunuh Diri. <br /><br /><strong>Hot Line Krisis / Nomor Telepon Darurat</strong><br /><br />Pemerintah perlu membuat semacam pusat bantuan yang menyediakan layanan pengaduan melalui telepon 24 jam, untuk mereka yang akan melaporkan peristiwa percobaan bunuh diri atau orang yang mencoba bunuh diri itu sendiri. Pusat pencegahan bubuh diri diorganisir oleh sukarelawan yang dilatih secara khusus. Ketika orang yang berpotensi bunuh diri menghubungi hot line, sukarelawan melakukan konsultasi dengan menawarkan pertolongan profesional darurat yang bersifat membangun dan meyakinkan orang tersebut untuk melakukan tindakan positif untuk menyelesaikannya. Sukarelawan berusaha untuk memperoleh alamat orang tersebut dan menghubungi polisi untuk melacak panggilan dan berupaya melakukan penyelamatan. Orang tersebut dijaga tetap pada panggilan sampai polisi tiba. <br /><br /><strong>Kampanye Pencegahan Bunuh Diri : Peran Media, Pendidikan, Tokoh Agama, Politisi, dan Lingkungan/Keluarga</strong><br /><br />Hari pencegahan bunuh diri dunia diperingati setiap tanggal 10 September. Ini merupakan momentum untuk mengkampanyekan komitmen dan aksi kemanusiaan untuk mencegah bunuh diri. Masih dalam acara simposium nasional pencegahan bunuh diri di bagian sebelumnya, Irwan Juliato dari Kompas, menyampaikan materi mengenai ”Peran Media Massa Dalam Pencegahan Bunuh Diri”.<br /><br />Peran media dalam pemberitaan kejadian bunuh diri dapat menjadi dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa menjadi alat pencegahan, tetapi di sisi lain justru dapat mendorong korban untuk meniru. Sehingga perlu formula yang tepat untuk merumuskan peran media dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang usaha pencegahan bunuh diri. Dapat berupa iklan layanan masyarakat, yang mengajak orang-orang untuk lebih perhatian terhadap keluarga, kerabat, dan teman terutama apabila sudah ada kecenderungan perilaku negatif ketika orang tersebut menghadapi sebuah permasalahan yang sulit. Hal ini juga melibatkan peran dunia pendidikan, Tokoh Agama, Politisi, dan Lingkungan/Keluarga terdekat<br />.<br /><strong>Pada Saat Terjadi Peristiwa Bunuh Diri</strong><br /><br />Menurut Scheidman dan Farberow (para pendiri “Suicide prevention Center” di Los Angelos) istilah bunuh diri (suicide) adalah termasuk perilaku :<br />1.    Ancaman bunuh diri (threatened suicide).<br />2.    Percobaan bunuh diri (attempted suicide).<br />3.    Bunuh diri yang telah dilakukan (comitted suicide).<br /><br />Sehingga, setiap ancaman, percobaan atau upaya bunuh diri adalah sebuah permohonan untuk minta tolong yang harus ditangani dengan serius. Jika ancaman atau upaya tersebut diabaikan, nyawa seseorang akan hilang. Jika seseorang mengancam atau telah siap berupaya untuk bunuh diri, polisi harus dihubungi dengan segera sehingga pelayanan darurat bisa tiba segera mungkin. Sampai pertolongan tiba, orang tersebut harus diajak bicara untuk menjadi tenang. Namun apabila bunuh diri sudah benar-benar terjadi maka pihak-pihak yang harus segera mengambil langkah adalah :<br /><br /><strong>Kepolisian </strong><br /><br />Pada saat terjadi peristiwa bunuh diri, pihak kepolisian segera melakukan proses penyelidikan guna mengungkap kebenaran dugaan kasus bunuh diri yang dilakukan korban. Petugas melakukan penyelidikan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk mencari bukti-bukti. Juga mencari keterangan dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi.<br />Laboratoriom forensik melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang ditemukan dari TKP, misalnya ceceran darah yang tertinggal pada barang bukti apakah benar darah yang identik dengan darah korban, apakah ada bahan-bahan beracun di sekitar TKP yang dicurigai sebagai alat untuk bunuh diri, dan bukti-bukti lainnya di TKP.<br /><br /><strong>Kesehatan/Rumah Sakit</strong><br /><br />Keterlibatan pihak kesehatan dengan segera mengirimkan ambulance untuk mengevakuasi korban bunuh diri, selanjutnya dilakukan visum et repertum untuk mengetahui sebab-sebab kematian korban bunuh diri. Apakah korban benar-benar meninggal karena upaya bunuh diri, atau mungkin terjadi suatu peristiwa pembunuhan. Visum et repertum dilakukan oleh dokter ahli atas permintaan dari kepolisian.<br />Setelah Terjadi Peristiwa Bunuh Diri <br /><br /><strong>Psikologi<br /></strong><br />Selanjutnya bagian psikologi melakukan proses otopsi psikologi melakukan koordinasi secara intensif dengan penyelidik/penyidik untuk mendapatkan data-data awal mengenai kasus tersebut dan melakukan perencanaan pemeriksaan psikologi. Pendekatan otopsi psikologi masih relatif baru dalam lingkup pemanfaatan Psikologi, metode ini belum banyak dikenal dalam membantu proses pemecahan kasus kriminal.<br /><br />Otopsi psikologi merupakan proses otopsi medis yang terkait dengan proses bedah mayat untuk mengetahui sebab-sebab kematian seseorang secara fisiologis/medis. Secara spesifik, otopsi psikologi merupakan evaluasi rekonstruktif maupun analisa kematian equivocal (Katherine Ramsland, 2006) pada dasarnya merupakan satu upaya untuk melakukan identifikasi sebab-sebab kematian seseorang yang dianggap masih kabur/tidak jelas penyebabnya. Lebih jauh, otopsi psikologi sebagai metode tertentu yang dipergunakan untuk meneliti secara cermat riwayat perjalanan kehidupan seseorang sebelum kematian.</p> <p style="text-align: justify;"><strong>Kesehatan/Rumah Sakit</strong><br /><br />Terhadap korban percobaan bunuh diri atau orang yang mengancam bunuh diri, rumah sakit (melakukan opname segera setelah dilakukan pertolongan. Bahkan jika orang tersebut tidak setuju untuk diopname, kebanyakan negara mengizinkan seorang dokter untuk mengopname seseorang yang menolak keinginannya jika dokter meyakini nahwa orang tersebut beresiko tinggi melukai dirinya sendiri. Strategi perawatan dengan dilakukan pembatasan akses terhadap barang-barang yang dapat digunakan sebagai sarana bunuh diri seperti bahan beracun, senjata api, dan benda-benda tajam lainnya.<br /><br /><strong>Hambatan Yang Ditemui</strong><br /><br />Dalam konsepsi Disaster Management, penanganan serta pencegahan bencana bunuh diri terdapat beberapa hambatan diantaranya yaitu :</p> <ol> <li>Kurangnya kewaspadaan seluruh pihak terkait bahwa bunuh diri merupakan bencana kemanusiaan yang      telah menjatuhkan banyak korban dan termasuk penyebab kematian utama di dunia.</li> <li>Kurang tersedianya sumber daya manusia ahli yang memiliki kompetensi dan keahlian mendalam (seperti psikolog).</li> <li>Kurangnya kepedulian pihak keluarga, kerabat, atau teman apabila menghadapi seseorang yang sudah mengindikasikan ciri-ciri perilaku bunuh diri.</li> <li>Lemahnya koordinasi lintas sektoral antara fungsi operasional, seperti pihak kepolisian dengan satuan kerja yang terkait dalam menangani bunuh diri. Sehingga sering hanya pihak kepolisian yang berperan setelah bunuh diri benar-benar terjadi.</li> </ol> <p style="text-align: justify;"><br /><strong>PENUTUP</strong><br /><br />Terjadinya kasus bunuh diri di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sehingga fenomena bunuh diri ini dapat digolongkan sebagai bencana (disaster) kemanusiaan. Perlu adanya upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat bahwa bunuh diri merupakan ancaman serius, yang memerlukan manajemen penanganan multisektoral. Penanganan bunuh diri tidak akan berhasil jika hanya tergantung kepada kaum profesional seperti psikolog, pekerja sosial, dan pihak kepolisian saja.</p> <p style="text-align: justify;">Masyarakat sekitar pelaku sebaiknya mengenali tanda-tanda usaha bunuh diri sehingga bisa terus melakukan pendampingan serta penanganan dengan baik. Pada konsep Disaster Management ini pemerintah melakukan berbagai langkah penanganan terpadu dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Penanganan yang dilakukan dapat digolongkan ke dalam tiga tahapan waktu. Yaitu pada tahap sebelum terjadinya bencana, pada saat terjadinya bencana, dan setelah terjadi bencana. Dengan terpadunya manajemen penanganan ini diharapkan angka terjadinya bunuh diri dapat ditekan. <strong>(*)</strong><br /><br /><em><strong>Sumber :http://masway.wordpress.com/2010/03/29/penanganan-bunuh-diri-dalam-konsep-disaster-management/</strong></em></p>