Dewan Adat Dayak Tuntut Ganti Rugi Lahan

oleh
oleh

Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah menuntut ganti rugi lahan seluas 4.807,89 hektare (Ha) kepada pihak perusahaan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit PT Teguh Sampurna (TS) secara hukum adat Dayak. <p style="text-align: justify;"><br />"Lahan yang disengketakan antara masyarakat dengan pihak PT Teguh Sempurna itu tersebut berlokasi di Desa Kawan Batu, Kecamatan Mentaya Hulu, Kotim," kata Ketua DAD Kotim, Berthus F Mattali di Sampit, Rabu. <br /><br />Ia mengatakan, tuntutan ganti rugi itu diajukan masyarakat sejak Tahun 2004 lalu, melalui keputusan Damang kepala adat. Namun pihak PT TS menolak dengan alasan tuntutan harus berdasarkan keputusan hukum Negara. <br /><br />Menurut Mattali, permasalahan ini sebetulnya sudah sampai kepada pemerintah provinsi Kalteng dengan turunnya Surat Perintah Gubernur Kalteng No.593.83 /1754/TAPRA tanggal 17 November Tahun 2007. <br /><br />Dalam surat perintah itu Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang meminta agar pihak PT TS segera menyelesaikan ganti rugi lahan terhadap tanah perbatasan milik almarhum Abdul Karim. <br /><br />Karena belum ada kepastian ganti rugi, Dewan Adat Dayak Kotawaringin Timur akan memasang "Hinting Pali" atau semacam police line di lahan yang masih bersengketa tersebut. <br /><br />Sebelumnya dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi Perusahaan Besar Swasta (PBS) di Kotim PT Teguh Sampurna menyampaikan bahwa perusahaan merasa dirugikan dengan eksistensi hukum adat. Terlebih dalam permasalahan klaim lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat. <br /><br />Mereka menilai, hukum adat yang diakui eksistensinya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Kalteng dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kotim dalam praktiknya saring bertindak sewenang-wenang terhadap perusahaan. <br /><br />Siswanto perwakilan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kotawaringin Timur mengatakan, perusahan bukannya tidak setuju dengan eksistensi hukum adapt, namun penjabarannya harus jelas. Jangan sampai orang-orang berlindung dibalik hukum adat dengan mudahnya melakukan klaim lahan. <br /><br />"Masyarakat beralasan eksistensi hukum adat diakui oleh Pergub dan Perda. Perusahaan yang sama sekali tidak mengetahui bagaimana mekanisme hukum adat, juga tidak dilibatkan dalam sidang adat, tau-taunya permasalahan klaim lahan diputuskan secara sepihak oleh Demang atau Kepala Adat," katanya. <br /><br />Sementara Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Sekretariat Daerah (Setda) Kotawaringin Timur, Bahalap Evar meminta perusahaan mengedepankan kearifan menyikapi klaim lahan yang terjadi dan menggunakan pendekatan persuasif kepada masyarakat, salah satunya dengan membuka kebun plasma. <br /><br />Hingga saat ini hanya ada beberapa perusahaan yang benar-benar melaksanakan program kebun plasma, padahal di Kotawaringin Timur sekarang ada sebanyak 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi. <br /><br />Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotawaringin Timur Priambodo menyebutkan, tanah adat dapat diakui jika tanah adat tersebut ada petanya, dan tercatat dalam buku register BPN. Selain itu, ada bukti-bukti fisik bekas garapan, tanaman, maupun ladang milik masyarakat. <br /><br />Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kotawaringin Timur Jakatan menilai, sebenarnya Pergub maupun Perda yang mengatur eksisitensi hukum adat tersebut bagus. <br /><br />Sayangnya, terbitnya kedua peraturan itu setelah PBS dibuka, seharunya sebelum kedua peraturan itu terbit, meski demikian ia meminta agar investor PBS sebaiknya membangun komunikasi yang baik dengan tokoh-tokoh adat. <strong>(das/ant)</strong></p>