Gapki Minta Pajak CPO Jadi 3 Persen

oleh
oleh

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap pemerintah menurunkan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari sembilan persen menjadi tiga persen untuk membantu pengusaha sawit mengatasi turunnya harga sawit internasional saat ini. <p style="text-align: justify;">Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pusat Joefly J Bahroeny pada pelantikan pengurus Gapki Kalsel, di Banjarmasin, Rabu mengungkapkan, tingginya pajak ekspor CPO sangat memberatkan pengusaha.<br /><br />"Kalau tujuan tingginya pajak karena untuk mendorong hilirisasi, saat ini akan sulit tercapai, karena kebutuhan CPO nasional hanya sekitar 8 juta ton per tahun," katanya.<br /><br />Sedangkan produksi CPO nasional, kini telah mencapai 28 juta ton, artinya ada kelebihan sekitar 20 juta ton per tahun, yang memang tidak mungkin ditahan di dalam negeri.<br /><br />Menurut dia, bila pemerintah tetap memaksakan kehendak agar CPO untuk memenuhi produksi dalam negeri, akan sangat memberatkan pengusaha, karena kelebihan stok.<br /><br />"Produksi yang cukup banyak tersebut, tidak mungkin kita buang, jadi harus tetap diekspor, agar pengusaha tidak terlalu berat, kita menuntut agar pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor sebagaimana negara lain seperti Malaysia yang kini cukup rendah," katanya.<br /><br />Saat ini tambah dia, produksi CPO di Indoensia berkembang sangat pesat, dari sebelumnya hanya dua provinsi yaitu Sumatra dan Aceh, kini telah berkembang ke 23 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia.<br /><br />Begitu juga dengan luasannya, dari sebelumnya hanya 0,28 juta hekter pada tahun 1979, kini telah mencapai hampir sembilan juta hektar.<br /><br />"Yang menggembirakan, dari 9 juta hektare tersebut, 43 persen atau 3,7 juta hektare adalah milik petani plasma, yang artinya keuntungan terbesar juga dirasakan langsung oleh para petani," katanya.<br /><br />Sedangkan sisanya, 49 persen adalah milik swasta, dan delapan persen milik BUMN.<br /><br />Tingginya lahan milik petani plasma tersebut, terjadi karena regulasi di sektor perkebunan kelapa sawit yang banyak memihak masyarakat, dimana adanya ketentuan bahwa setiap perusahaan harus menyisihkan 20 persen dari lahannya untuk petani plasma.<br /><br />Kondisi tersebut, berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, dari 0,28 juta hektare, terdiri 68 persen milik BUMN dan 32 persen milik swasta, di mana petani kurang dilibatkan.<br /><br />"Pertumbuhan perkebunan kelapa sawait di Indonesia cukup pesat, dan kini telah menduduki urutan pertama untuk produksi sawit dunia," katanya.<br /><br />Kondisi tersebut, kata dia, tentu sangat menguntungkan, bukan hanya bagi petani kelapa sawit tetapi juga bagi investor dan pemerintah. <strong>(das/ant)</strong></p>