Komisi X Dukung Moratorium Ujian Nasional

oleh
oleh

Komisi X DPR mendukung moratorium Ujian Nasional (UN) yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Anggota Komisi X DPR Popong Otje Djundjunan mengatakan, dengan memoratorium UN, berarti Mendikbud sudah mengetahui ruh dari pendidikan. <p style="text-align: justify;">“Dengan langkah moratorium UN yang akan diambil oleh Mendikbud itu menunjukkan bahwa Mendikbud sudah mengerti ruh pendidikan. Saya acungkan dua jempol, jika ada sepuluh jempol, akan saya berikan sepuluh jempol,” katanya, saat rapat kerja dengan Mendikbud, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (1/12/2016).<br /><br />Menurut politisi Fraksi Partai Golkar itu, dengan mengambil kebijakan moratorium UN, Mendikbud akan mengembalikkan evaluasi pendidikan sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 58-59, yang menjelaskan bahwa penilaian adalah hak guru bukan Pemerintah.<br /><br />Sebagaimana diketahui, Pasal 58 UU Sisdiknas menjelaskan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara, Pasal 59 menjelaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.<br /><br />“Kan sudah jelas di UU Sisdiknas pasal 58-59 itu menjelaskan bahwa penilaian adalah hak guru, bukan hak pemerintah. Jadi selama ini kita melanggar. Berarti kita akan kembali kepada undang-undang dengan segala kelemahannya,” imbuh Popong.<br /><br />Popong menambahkan, dengan adanya penghapusan UN, hal ini juga dapat menghemat anggaran hingga lebih dari Rp 500 miliar. Anggaran itu bisa dialihkan pada perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Namun ia mengingatkan, kebijakan ini harus didukung oleh Instruksi Presiden, sehingga pengalihan anggaran dapat tepat sasaran.<br /><br />Walaupun kebijakan moratorium UN ini terkesan lambat, namun Popong tidak mempermasalahkan hal itu. Menurutnya, UN bisa diselenggarakan, namun dengan catatan, tingkat pemerataan pendidikan di setiap daerah sudah merata.<br /><br />“Moratorium ini terlambat, seharusnya dari dulu dari tahun 2008, tapi biar lambat asal selamat,” kata politisi asal dapil Jawa Barat itu, sembari mengingatkan bahwa pengambilan kebijakan ini harus hasil dari penelitian yang mendalam. <br /><br />Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, perubahan kebijakan terkait UN ini merupakan tindak lanjut terkait langkah untuk mengkaji ulang UN. Menurutnya, moratorium UN juga berdasar pada data profil UN tiga tahun terakhir, yakni 2014, 2015, dan 2016. Terdapat lima kategori pencapaian, meliputi sangat baik, baik, cukup, kurang, serta tidak dapat dianalisis.<br /><br />“Yang sangat baik peningkatannya tidak lebih dari satu persen. Sementara untuk yang kategori kurang ditambah yang tidak dapat dianalisis di atas 70 persen. Inilah kondisi pendidikan kita,” jelas Mendikbud.<br /><br />Berdasarkan modal data tersebut, Mendikbud mengklaim telah memiliki peta kondisi pendidikan. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang moratorium UN. “UN 2016 dilakukan untuk pemetaan dan kami sudah tahu petanya. Nah, pemetaan ini tidak harus dilakukan setiap tahun. Berdasar data, kami yakin moratorium harus dilaksanakan,” tegas Mendikbud. (mur,sf)<br /><br />Sumber: http://www.dpr.go.id</p>