Kuesioner Pengukuran Kelamin Dan Payudara Tuai Kritik

oleh
oleh

Kuesioner pengukuran kelamin dan payudara peserta didik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam belum lama ini, menuai kritik masyarakat Muslim dari berbagai provinsi di Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah. <p style="text-align: justify;">Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar) Kalteng Prof Dr HM Norsanie Darlam MS, PH kepada Antara Kalimantan Selatan, di Banjarmasin, Minggu, berpendapat, kuesioner yang terjadi pada peserta didik di Aceh itu, tidak etis.<br /><br />"Apapun alasannya, kuesioner ukuran kelamin dan payudara bagi anak usia sekolah antara 12 – 14 tahun atau yang sedang masa-masa awal puber, bisa berdampak negatif terhadap kehidupan mereka," tandas pengurus Muhammadiyah "Bumi Isen Mulang" Kalteng itu.<br /><br />Guru Besar Unpar yang menyandang gelar Public Health dari salah satu universitas di "negeri Adidaya" Amerika Serikat itu, semula menganggap kuesioner tersebut sebagai lelucon biasa.<br /><br />"Eh, tahu-tahunya memang kenyataan yang terjadi pada pelajar kelas 7 di Aceh, provinsi yang bersendikan agama, yang semestinya tak perlu terjadi karena kuesinoer itu menyentuh masalah yang sangat sensitif, seperti ukuran kelamin dan payudara," ujarnya.<br /><br />Menurut profesor yang sudah tergolong lanjut usia (lansia) itu, anak yang sedang meninjak usia remaja, kurang etis mendapat kuesioner yang mengarah tentang ukuran kelamin dan payudara, karena bisa berdampak kurang baik.<br /><br />"Kenapa Kuesioner tidak diarahkan cita-cita pada masa depan mereka dalam dunia pendidikannya, seperti jika kondisi kesehatannya baik. Pendidikan apa kelak yang harus ia pilih," lanjutnya.<br /><br />Atau kuesioner yang berkaitan dengan memelihara kesehatan sangat penting bagi siswa seusia remaja tersebut guna meraih prestasi dalam belajar di sekolahnya. saran mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) itu.<br /><br />Profesor yang berkarir mulai dari pengawai rendahan (pesuruh) itu berkeyakinan, jika kuesioner bersifat mendidik, tentu tidak akan terjadi keberatan bagi orangtua siswa tersebut.<br /><br />"Tapi karena kuesioner yang diedarkan menyentuh perasaan yang kemungkinan kurang etis pada usia anak mereka, membuat orang tuanya protes. Saya yakin, pasti ada orangtua yang lain, juga keberatan seperti Erlina (41)," demikian Norsanie Darlan.<br /><br />Erlina, ibu dari Muhammad Hafiz Razak (12), pelajar kelas 7 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sabang, NAD, yang mendapat kuesioner yang mengatasnamakan masalah kesehatan dan menghebohkan masyarakat, terutama kalangan Muslim.<br /><br />Dosen pascasarjana pendidikan luar sekolah (PLS) pada perguruang tinggi negeri tertua di Bumi Isen Mulang itu menyarankan, kejadian serupa seperti di NAD tersebut tidak perlu terjadi di Kalteng. <strong>(das/ant)</strong></p>