Melestarikan Hutan Melalui Kearifan Lokal (3)

oleh
oleh

Hutan menjadi sumber penghidupan. Dia menyediakan berbagai kebutuhan manusia, bahkan dizaman yang serba modern seperti saat ini. <p style="text-align: justify;">Filosofi ini sepertinya yang masih terus dipelihara oleh masyarakat dayak Jelai, khususnya yang berdiam di Kampung Rangga Intan. <br /><br />Sadar bahwa kelestarian hutan dan alam sekitar mesti dijaga, masyarakat desa Rangga Intan pun membuat kesepakatan yang tercantum dalam Conservation Community Livelihood Agreement (CCLA). <br /><br />Dalam kesepakatan tersebut tercantum berbagai aktivitas yang dilarang untuk dilakukan warga seperti menebang pohon yang menjadi lalau (terdapat sarang lebah madu hutan), mencari ikan dengan cara menyentrum atau menuba dengan racun, serta memburu hewan yang langka dan berbagai hal yang bisa merusak lingkungan.<br /><br />Kepala Dusun Sungai Kiri, Santik menegaskan, mencari ikan dengan racun sudah tak diperbolehkan lagi dilakukan. Bahkan bila ada pelaku yang ketahuan sengaja menuba, bisa dikenakan adat.<br /><br />“Hanya terkadang ada warga dari luar yang sembunyi-sembunyi meracun ikan di sungai. Atau warga dari daerah hulu, karena kita ini dihilir yang juga kena dampaknya,” katanya.<br /><br />Santik mengungkapkan, Sungai Kiri yang memutari Desa Rangga Intan dulu memiliki banyak jenis ikan. Mulai dari kaloi, lengguar, toman, dan berbagai ikan khas sungai termasuk semah ada di sungai tersebut. Kami para jurnalis bersama Alexander Mering dan Rezky dari USAID IFACS pun merasakan langsung mencari ikan bersama warga tersebut pada malam hari di Sungai Kiri.<br />“Dulu, bisa ratusan kilo kita dapat kalau mencari ikan bersama-sama seperti ini. Tapi sekarang sudah susah,” keluhnya.<br /><br />Warga Rangga Intan memang memiliki kebiasaan untuk mencari ikan bersama-sama. Bahkan dulu ada yang disebut nuba adat yang biasa dilakukan setelah selesai berladang. Nuba adat ini sendiri tidak seperti menuba dengan menggunakan racun potas, tapi menggunakan peralatan yang tidak merusak lingkungan. <br /><br />Ikan yang diperoleh pun kemudian dimasak bersama langsung di tepi sungai. Cara masaknya juga serba organik, karena tak menggunakan alat masak ala chef yang ada di restoran. Cukup menggunakan bambu dan bumbu alami yang mudah didapat di dalam hutan. Ikan yang sudah dibersihkan pun langsung dimasukkan kedalam bambu bersama bumbu yang sudah diolah lalu dibakar. Rasanya, luar biasa gurih, tak kalah dengan masakan ikan asam pedas buatan rumah makan. <br /><br />Selain kebiasaan mencari ikan, masyarakat juga terbiasa mencari madu di hutan. Ada pohon yang disebut lalau yang memang kerap kali digunakan sebagai tempat sarang lebah hutan. Pohon itu tak boleh ditebang. Adatnya lumayan berat. Santik menerangkan, kalau ada pohon lalau yang ditebang, si penebang bisa dikenakan adat tiga tajau. Tajau sendiri sebuah guci yang memiliki ukiran tertentu dan sulit didapat.<br /><br />“Kita tidak mau diganti dengan uang, karena kalau pakai uang dianggap semuanya bisa dibayar. Jadi yang kena adat mesti mengganti dengan tajau. Dikampung ini sudah pernah ada yang diadat karena nebang lalau,” tegasnya.<br /><br />Kami pun berkesempatan untuk melihat cara masyarakat Rangga Intan mencari madu. Aktivitas ini dalam bahasa dayak Jalai disebut Memuar. Kebetulan, yang akan memanjat lalau untuk mengambil madu adalah Demung atau tokoh adat Rangga Intan, pak Manan. <br /><br />Sebelumnya memanjat, pak Manan akan membuat Jantak  atau pijakan untuk memanjat pohon. Anak Jantak dibuat dari bambu yang sudah dibelah pipih dan kemudian dipakukan kedalam pohon lalau. Ujung anak Jantak tersebut kemudian diikatkan pohon akar darah yang sudah dipukul-pukul hingga pipih yang fungsinya sebagai tali pengikat ke batang bambu yang disebut gading. <br /><br />Setelah dibuat, jadilah gading dan jantak sebagai tangga untuk menaiki pohon tersebut.<br />Pak Manan sembari memakukan anak jantak ke pohon, ia mengucapkan mantra khas yang dinyanyikan dalam bahasa setempat. Mantra tersebut berisi sanjungan untuk lebah dan pohon lalau agar lebih bersahabat dan mudah mendapatkan madu.<br /><br />Untuk mengusir lebah dari sarangnya, Pak Manan menggunakan akar pantang yang sudah dibakar sehingga nantinya lebah akan mengejar bara api yang dihasilkan dari akar tersebut. Proses mengambil madu atau memarau ini mesti dilakukan oleh orang yang sudah terlatih mengingat rata-rata pohon lalau tersebut tingginya bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter. <br /><br />Ikan, madu, berbagai buah-buahan semuanya disediakan oleh alam yang lestari. Semua ini hanya bisa didapat bila hutan masih terjaga keasriannya. Masyarakat Rangga Intan pun memahami hal tersebut dan terus menurunkannya pada generasi berikutnya.<br /><br />Santik pun mengungkapkan, agar kearifan lokal ini bisa terus terjaga, para orang tua mengajarkan hal tersebut pada anak-anak mereka secara turun temurun. Bahkan ada pelajaran muatan lokal (mulok) yang diajarkan secara khusus di SD 22 Jelai Hulu, satu-satunya SD yang ada di desa Rangga Intan.<br /><br />“Sejak tahun 2000 ada pelajaran muatan lokal khusus tentang adat istiadat dayak Jalai. Jadi dalam mulok tersebut diajarkan ritual adat, cerita, peribahasa, cara membuat kerajinan anyaman mengayang sampai menabung gendang,” katanya.<br /><br />Pelajaran mulok ini diberikan pada siswa kelas 3 sampai kelas 6. Dulunya yang mengajar adalah  warga setempat yakni Yustina Sijintir dan Maner. Pak Maner sendiri merupakan mantan Demung Adat. Hanya kata Santik, saat ini pelajaran tersebut tak lagi berlanjut karena tak ada yang membayar honor para guru tersebut.<br /><br /><br />“Dulu ada dari AMAJK (Aliansi Masyarakat Adat Jelai Kendawangan) yang membantu. Tapi sekarang sudah tidak ada,” terangnya.<br /><br />Kendati demikian, pelajaran alam tetap diajarkan pada anak cucu mereka. Bisa dirumah saat menjelang tidur, atau langsung didalam hutan saat generasi penerus tersebut ikut orang tua mereka.<br /><br />“Sopan santun dan tata karma juga sudah diajarkan disaat mereka akan tidur,” katanya.<br />DRM USAID IFACS, Donatus Rantan mengatakan, empat desa yang menjadi sasaran program IFACS termasuk Rangga Intan memang sudah memiliki kearifan lokal yang sudah mereka jalankan untuk melindungi kawasan-kawasan penting untuk kehidupan masyarakatnya.<br /><br />“Kekhasan mereka masih mempertimbangkan untuk tidak tergesa-gesa untuk melepaskan wilayah hutan desa kepada pihak ketiga atau swasta,” katanya.<br /><br />Donatus mengatakan, kerap pembangunan infrastruktur justru tidak diimbangi dengan pembangunan mental masyarakat. Pembangunan yang ada saat ini belum berpihak pada masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.<br /><br />“Pembangunan infrastruktur dilakukan justru hanya untuk mengambil sumber daya alam yang ada dikawasan tersebut,” katanya.<br /><br />Donatus pun melihat empat desa yang ada di dalam program USAID IFACS sendiri sudah mempunyai kebiasan turun temurun untuk mengelola lingkungannya secara arif sehingga tidak habis sumber daya yang ada. <br /><br />“Buka lahan mereka tidak bakar habis, seperti kayu dan sumber air tetap dilindungi. Bahan-bahan hasil hutan non kayu mereka lindungi termasuk obat-obatan. Bayangkan kalau tak ada perlindungan, sumber air mereka bisa habis, binatangnya habis, sayur habis. Apa yang ditinggalkan,” ucapnya.<br /><br />Oleh karena itu, tutur Donatus, masyarakat di sekitar hutan hanya mengambil secukupnya. Terlebih ada peribahasa setempat yang mengatakan Sasak Begundang, Arai Beikan, dan Natai Bejolu.  “Jadi jaga tanah air kita untuk anak cucu kita,” katanya. <strong>(eko/kn)</strong></p>