Pemilihan Presiden 2014 Dan Pemudaran Pakem Politik

oleh
oleh

Gejala menarik tampak dalam Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2014, dengan semua partai dapat dikatakan berada di kedua kubu calon presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, tanpa tindakan berarti dari masing-masing lembaga politik itu atas langkah kadernya. <p style="text-align: justify;">Upaya pembendungan "pembelotan" itu oleh beberapa partai hanya berupa ancaman pemecatan atau pemberhentian dari kepengurusan. <br /><br />Pemecatan dari anggota partai hanya dilakukan Golkar.<br /><br />Kejadian itu meniscayakan para partai tersebut duduk di pemerintahan, siapa pun pemenang pemilihan pada 9 Juli itu, dalam kedudukan apa pun. Koalisi menjadi kenisbian.<br /><br />Gejala itu tampak sejak Pemilihan Umum Presiden 2004, saat Golkar mengajukan Wiranto sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahudin Wahid, sementara tokohnya, Jusuf Kalla, menjadi calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, yang dicalonkan Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. <br /><br />Sejarah mencatat sejumlah kader Golkar duduk di kebinet sesudah Yudhoyono-Kalla menang.<br /><br />Jika Prabowo menang dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rustriningsih, misalnya, duduk di kabinet atau Fahmi Idris dari Golkar menjadi menteri dalam kabinet Jokowi, maka pengertian klasik partai memudar. <br /><br />Parlemen akan kikuk atau menjadi sarana penentangan jika partai atau kadernya tidak sepakat di kabinet, seperti sekarang.<br /><br />Di sisi masyarakat, lumbung bibit anggota dan suara partai, terjadi ketidak-percayaan akibat ulah anggotanya, yang kian banyak menjadi tersangka dan narapidana dalam perkara korupsi.<br /><br />Pilihan tampak jatuh pada "pembentukan" masyarakat warga, yang merancang hingga melaksanakan sendiri kepentingan mereka. <br /><br />Untuk saat ini, sebutan mereka paguyuban, komunitas, yang kian melembaga dan menunjukkan kecanggihannya -berkat teknologi- dalam masa kampanye. Mereka tidak menyalurkan prakarsanya kepada partai pendukung.<br /><br />Indonesia sedang "menciptakan" pakem baru dalam politik, dengan partai mencair dan kelompok "fungsional" menguat seperti ditunjukkan relawan dan pendukung masing-masing calon secara besar-besaran, yang menjadi sakaguru kekuatan.<br /><br />Terlalu dini menyatakan kelompok fungsional akan menggantikan partai, namun perjalanan "pencairan" partai setidak-tidaknya sudah teruji dalam tiga pemilihan presiden sejak 2004.<br /><br />Kelompok fungsional<br />"Bagi (Presiden) Soekarno, partai politik tidak mewakili kepentingan masyarakat," kata sejarahwan dari universitas New South Wales, Australia, David Reeve, "Kritikan Soekarno kepada partai politik melahirkan pemikiran tentang pembentukan golongan fungsional."<br /><br />Pemikiran pada pasca-Pemilihan Umum 1955 itu adalah tandingan terhadap sistem kepartaian, yang meniru demokrasi liberal di Barat. <br /><br />Menurut guru besar itu, pemikiran tersebut murni dan tidak dijumpai dalam sejarah di negara mana pun.<br /><br />Menurut sejarahwan Peter Kasenda, pada awal 1957, saat kemelut melanda kabinet dan pergolakan terjadi di daerah, Soekarno mengemukakan pemikiran itu sebagai pilihan. <br /><br />Bagi Soekarno, persoalan itu disebabkan oleh sistem banyak partai, yang menjadi ciri demokrasi liberal. <br /><br />Sistem itu memperburuk semua bentuk pertikaian dalam masyarakat dan memolitikkan seluruh kehidupan masyarakat.<br /><br />"Tidak banyak yang mengingat Soekarno mengusulkan menggantikan partai dengan golongan fungsional," kata David Reeve di Jakarta pada tahun lalu.<br /><br />Yang dimaksud dengan golongan itu ialah pemilik "fungsi kolektif" dalam masyarakat. Seorang petani, misalnya, bisa berideologi nasionalis atau agama dan dapat pula berasal dari Jawa atau Sumatera, tapi dari perbedaan itu harus dicari yang paling mendekati atau menyamakan mereka, kata Reeve.<br /><br />Sejarah kelompok fungsional dapat ditelusuri jauh sebelum kemerdekaan. Peter Kasenda mencatat, pada zaman Belanda, wakil golongan itu duduk dalam Volksraad, parlemen. Pada masa pendudukan Jepang, wakil golongan fungsional juga duduk dalam Chuo Sangi In, dewan penasihat pusat. Setelah kemerdekaan, terutama di dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), golongan fungsional duduk mewakili kelompok tani dan buruh.<br /><br />Golongan Karya, yang berawal dari kelompok fungsional, berperilaku partai pada masa Orde Baru dan menjadi partai sepenuhnya pada pasca-pemerintahan presiden Soeharto.<br /><br />Pemilihan presiden pada 2014 berlangsung di tengah keputus-asaan akan partai politik, yang kian menjauhi pakemnya, sehingga membuka peluang kelompok masyarakat berkiprah dalam praktik politik, menciptakan sendiri jalannya dan tidak mustahil menjadi tandingan partai serta pada akhirnya ditampung dalam arus induk politik. <strong>(das/ant)</strong></p>