Petani Pontianak Raih Penghargaan Nasional

oleh
oleh

Subianto (81) warga Sungai Selamat Dalam, Gang Tani RT 02/RW 17, Keluarahan Siantan Hilir, Kecamatan Pontianak Utara, meraih penghargaan nasional Labdhakretya, 29 Agustus, karena keberhasilannya mengolah lahan gambut tanpa membakar dan mempunyai hasil yang melimpah ruah. <p style="text-align: justify;">Subianto akan mendapat penghargaan nasional Labdhakretya karena keberhasilannya mengelola tanah gambut, pada saat perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-18 di Jakarta oleh Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta yang juga dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.<br /><br />"Sebelum memutuskan menetap di Pontianak, hampir 20 tahun saya mempelajari kondisi tanah bergambut ini. Selain itu alasan saya menetap di Pontianak juga dengan pertimbangan mendekati pasar agar mudah memasarkan hasil pertanian saya," ungkapnya.<br /><br />Awalnya, dia belajar kepada warga keturunan Tionghoa untuk mengolah tanah gambut, karena mengolah tanah bergambut cukup sulit sehingga harus menggunakan pupuk organik yang kesemuanya harus disediakan dari luar, sehingga tahun 1987 digunakanlah pupuk organik dari kotoran babi, tetapi tidak menyebar kepada petani lain di Kalbar khususnya petani yang beragama Islam.<br /><br />Karena adanya kebijakan wali kota Pontianak sewaktu itu, yang mengatur relokasi peternakan babi harus di luar kota, maka dirinya mencari solusi pengganti pupuk yang sama dengan komposisi ternak babi yakni dari kotoran ternak ayam ras, yang hingga saat ini dapat diterima oleh masyarakat.<br /><br />"Keinginan saya untuk pengelolaan lahan gambut ini terinspirasi oleh kegiatan ladang berpindah masyarakat Dayak di pedalaman Kalbar. Dari hasil pengamatan saya, tanaman yang ditanam ditumpukan abu tumbuh lebih baik, sehingga memanfaatkan abu bakar dari penggergajian kayu (sawmill) yang tersedia secara melimpah waktu itu," ungkapnya.<br /><br />Pengaturan drainase agar gambut tidak turun juga perlu dilakukan, untuk menghilangkan tingkat keasaman tanah maka digunakanlah abu yang kini diperoleh dari gulma dan limbah pertanian hingga kini, katanya.<br /><br />"Kami tidak perlu membakar hutan dan lahan untuk memperoleh abu, tetapi membuat abu dari bahan gulma dan limbah pertanian yang dilakukan secara terkontrol di dalam pondok abu," ujarnya.<br /><br />Kini menurut Subianto, karena usianya sudah renta, pengolahan lahan pertaniannya dilanjutkan anak dan cucunya yang lebih muda, untuk menanam berbagai jenis sayuran, pepaya, kedelai, cabe dan bawang merah.<br /><br />Sementara itu, Sutarmidji menyambut, baik ada warganya yang menerima penghargaan dalam pemanfaatan lahan gambut yang ramah lingkungan dan akan menjadi percontohan itu.<br /><br />"Sayur yang keluar dari Pontianak bisa mencapai sekitar 30 ton/hari, sehingga bisa mencukupi kebutuhan dalam kota, dan bahkan dijual hingga keluar kota," ujarnya.<br /><br />Sutarmidji menambahkan, dalam sehari-rata-rata penghasilan petani sayur yang sudah sukses seperti Subianto bisa mencapai Rp300 ribu/hari.<br /><br />"Kami akan terus mempertahankan lahan gambut di kawasan Kecamatan Pontianak Utara, sehingga tetap menjadi lahan pertanian yang ke depannya bisa terus menopang kebutuhan sayur-mayur di Pontianak, serta menjadi lahan terbuka hijau," ujarnya. <strong>(das/ant)</strong></p>