PMKRI Cabang Sintang Gelar Dialog Publik Terkait Wacana Pemindah Ibukota Negara

oleh
oleh

SINTANG, KN – Bupati Sintang, Jarot Winarno, membuka dan menjadi narasumber pelaksanaan Dialog Publik yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Sintang Santo Agustinus di Pendopo Bupati Sintang pada Sabtu, (28/9/2019).

Dailog Publik mengambil tema “sounds of borneo” dalam konteks pemindahan pusat pemerintahan Republik Indonesia ke Kalimantan. Selain Bupati Sintang, hadir juga tiga orang narasumber lainnya Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang, Jefray Edward, SE, M. Si, Akademisi Universitas Kapuas Sintang, Michael Eko Hardian, SH, MH dan Ketua PMKRI Cabang Sintang Helensia Yuliani Nuni.

Hadir sebagai peserta Dialog Publik tersebut pengurus dan anggota PMKRI Cabang Sintang dan organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Kelompok Cipayung, dan organisasi kemahasiswaan.

Bupati Sintang Jarot Winarno mengapresiasi dialog publik tersebut. “Saya sepakat bahwa kita warga kalimantan dan Sintang harus menyiapkan diri menghadapi wacana pemindahan ibukota negara ini. Saya yakin ada banyak hal positif dari pemindahan ibukota negara ke kalimantan. Tetapi juga ada rasa kawatir akan dampaknya terhadap pulau kalimantan. Ini yang perlu kita kaji dan diskusikan. Apakah hutan, alam dan lingkungan kita akan terancam. Hasil dialog ini harus kita bawa lagi kedalam seminar yang lebih besar” terang Bupati Sintang.

Lanjut Jarot, negara ini didirikan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Tetapi hingga kini, pembangunan belum merata, Kemiskinan masih tinggi, Pembangunan masih belum berkelanjutan dan mensejahterakan.

Pembangunan masih menumpuk di pulau jawa, 59 persen penduduk Indonesia ada di pulau jawa, 80 persen industri ada di pulau Jawa, Sehingga daya tarik kota di Jawa menjadi luar biasa. Pemindahan ibukota ini untuk mewujudkan pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Membuat pusat pertumbuhan baru. Jakarta sudah tidak layak.

“pulau kalimantan dianugerahi lingkungan yang luar biasa. Untuk Sintang saja masih ada 1, 2 juta hektar hutan. Kita dukung pemindahan ibukota asalkan tidak mengganggu hutan, kearifan lokal dan budaya lokal. Tahun ini kita usulkan 4 kawasan hutan adat. Kasus karhutla dan asap juga menjadi masalah bagi pemindahan ibukota negara kita. Kita terima pemindahan dengan syarat ada keseimbangan alam, pembangunan yang cepat” terang Jarot.

Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang, Jefray Edward menyampaikan bahwa pemindahan ibukota untuk mengurangi masalah yang terjadi di Jakarta.

“tetapi jangan sampai memindahkan masalah Jakarta atau Jawa ke Kalimantan. Kita masyarakat adat belum ada diajak diskusi oleh pemerintah pusat terhadap wacana nasional ini. Padahal kita ingin diajak diskusi mengenai pemindahan ibukota ini. Ada banyak resiko dan konflik sosial yang akan dihadapi dalam pemindahan ibukota negara ini” terang Jefray Edward.

Lanjut Jeffray, sumber daya manusia masyarakat adat belum siap untuk bersaing dengan orang dari Jakarta. Pembangunan yang masif tentu akan berdampak terhadap lingkungan. Saya sepakat juga bahwa kepentingan masyarakat adat kita jaga dan pertahankan” tambah Jefray Edward.

Ketua PMKRI Cabang Sintang Helensia Yuliani Nuni menyampaikan dialog ini kami laksanakan untuk mengkaji lebih dalam wacana pemindahan ibukota Negara Indonesia ke Kalimantan.

“sebagai pemuda kita harus selalu siap. Kita akan kaji lebih dalam dampak positif dan negatifnya. Serta apa peluang dan tantangan kedepannya jika pusat pemerintahan sudah pindah ke Kalimantan. Kita berharap kaum muda Sintang dan Kalimantan bisa menjadi pelaku dari perubahan besar tersebut” harap Helen.

Helensia mengatakan sangat penting mendata dampak positif dan negatif dari pemindahan ibukota negara ke kalimantan. “Kami generasi muda ingin dipakai oleh negara dalam membangun bangsa. Kami berharap ada pelatihan khusus untuk persiapan menghadapi persaingan dunia kerja dengan orang yang datang ke kalimantan, Mari persiapkan diri kita secara akademik plus kepribadian kita. Kita harus menjadi ahli di bidang kita masing masing. Kita sebagai tuan rumah harus mempersiapkan diri kedatangan ibu kota negara ini. Jangan sampai saat ibukota negara datang, kita teriak teriak dan saling menyalahkan” terang Helen.

Akademisi Universitas Kapuas, Michael Eko Hardian menyampaikan bahwa ada suara yang muncul dari pulau kalimantan saat mendengar wacana pemindahan ibukota negara. Suara itu bisa saja suara ketakutan, kegembiraan dan kekawatiran. Pulau kalimantan akan menjadi gula yang akan diserbu oleh semut dari semua daerah. Dampak positifnya banyak. Pembangunan di kalimantan akan lebih cepat. Kondisi kita saat ini adalah sumber daya manusia yang terbatas, miskin infrastruktur, potensi sumber daya alam belum dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Kita jangan menjadi penonton, maka harus ada yang dilakukan, negara harus melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan, seperti penerimaan ASN, TNI dan Polri, terang Michael.

Lanjut Michael, setelah pindah nanti, kita berharap Negara mampu menjaga keseimbangan alam di bumi borneo. “Ibu kota baru diharapkan menjadi kota yang berbudaya dan memiliki arsitektur lokal dan berkarakter. Memberikan nama lokal terhadap nama jalan dan gedung. Membangun jalan yang baik sampai ke pedalaman” harap Michael.(SS)