Politik Pangan Yang Tidak Berpihak Kepada Petani

oleh
oleh

Hasil publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tentang kondisi ekonomi Indonesia yang disampaikan awal bulan ini, sepertinya masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, khususnya dalam sektor moneter. <p style="text-align: justify;">Namun lebih dari itu, ternyata pada sektor riil, kondisinya juga sudah mulai terasa, antara lain ditandai dengan naiknya harga produk pertanian dan pangan, termasuk tahu dan tempe.<br /><br />Sejumlah produsen tahu dan tempe sekarang sudah mulai mengeluh atas kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku pokok makanan khas Indonesia tersebut. Harganya per kilogram sudah sama dengan harga beras berkualitas bagus, sekitar Rp 9.500. Mereka pun kabarnya, seperti di salah satu daerah di Wonogiri Jawa Tengah, sudah mulai menghentikan kegiatan usahanya.<br /><br />Bahkan secara dramatisir digambarkan, keseluruhan di Indonesia ada jutaan perajin tahu dan tempe, para pedagang di pasar serta warung-warung makan dengan lauk tahu dan tempe yang harus bersiap menghadapi kondisi sulit.<br /><br />Kesulitan itu terjadi karena harga kedelai yang diimpor dari Amerika dan sejumlah Negara produsen lainnya, terus naik seiring dengan naiknya harga dollar Amerika terhadap rupiah. Namun pada sisi berbeda, sekelompok kecil petani kedelai, seperti kelompok petani kedelai di Banyuwangi, Jawa Timur, sedang berbunga-bunga hatinya karena harga kedelai lokal yang mereka panen, laku dijual.<br /><br />Harga kedelai lokal sudah mencapai Rp 7 ribu per kilogramnya. Sayangnya, petani yang menaikmati kenaikan harga kedelai lokal ini tinggal sedikit. Mereka hanyalah sisa-sisa petani kedelai yang masih bertahan di tengah gempuran jutaan ton kedelai impor.<br /><br />Nasib kolega mereka, yakni para petani kedelai lokal itu, dulu juga bangkrut. Jumlahnya juga jutaan petani. Mereka harus menangisi harga kedelai lokal yang anjlok dan bahkan tidak dilirik oleh perajin tahu dan tempe, setelah pemerintah membuka keran impor kedelai besar-besaran.<br />Sebagian mereka pun harus meninggalkan pertanian kedelainya, dan sebagian yang lain mengubah tanaman mereka menjadi kebun mangga atau kebun lain.<br /><br />Sayangnya, nasib petani kedelai lokal yang memprihatinkan itu, tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah lebih sibuk mengurusi kedelai impor dari luar negeri, yang keuntungannya banyak dinikmati importer, pedagang kedelai, dan pedagang tahu tempe.<br /><br />Ini adalah gambaran politik pangan dan politik pertanian pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Bahkan, dengan politik pangan semacam itu, yang dihidupi pemerintah bukan petani Indonesia, tetapi petani Amerika, Petani Australia,  Petani China atau petani Negara produsen pangan lainnya.<br />Selain kedelai untuk tahu dan tempe, Indonesia juga pengimpor jutaan tom gandum untuk bahan baku mie instan, dan ratusan ribu ton jagung untuk pakan ternak, juga beras. Belum lagi impor bawang, dan buah-buahan.<br /><br />Padahal, Petani Indonesia memiliki potensi untuk memproduksinya. Namun semuanya terpaksa beralih karena pemerintah lebih senang mengimpor dan memberi untung paara pedagang. Harusnya, pemerintah negeri ini lebih memprioritaskan kehidupan petani dan masa depannya dibandingkan yang lain.<br />Indonesia adalah Negara agraris. Ada puluhan juta orang hidup dari pertanian, akan tetapi tanpa masa depan yang cerah.<br /><br />Bila pemerintah tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada petani, berilah perlindungan dan kebijakan mengurangi impor pangan, agar mereka tersenyum dan barbunga-bunga hatinya menikmati harga panen yang cukup baik. Saatnya berpihak pada petani Indonesia. Sekian Komentar. <strong>(das/wd/DS/WDA/rri)</strong></p>