Produksi Kayu Ulin Barut Tak Capai Target

oleh
oleh

Produksi kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah yang dikeluarkan melalui izin rencana kerja tahunan dalam dua tahun terakhir tak mencapai target. <p style="text-align: justify;">Padahal kayu tersebut untuk memenuhi kebutuhan bagi proyek pembangunan dan masyarakat.<br /><br />"Diterbitkannya izin rencana kerja tahunan (RKT) melalui perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) karena selama ini kontraktor kesulitan mendapat bahan baku itu di pasaran," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Barito Utara (Barut), Iwan Rusdani di Muara Teweh, Jumat.<br /><br />Menurut Iwan, realisasi RKT kayu ulin tahun 2009 hanya 161 batang atau 395,09 meter kubik dari target 206 batang atau 880 m3, sedangkan tahun 2010 sebanyak 228 batang atau 455 m3 tak ada realisasinya.<br /><br />Tahun 2011, kata dia, pihaknya hanya menargetkan RKT kayu ulin hanya 373 m3 kemudian ditambah sisa persediaan (stock opname) dua tahun terakhir diberikan kepada perusahaan HPH PT Austral Byna.<br /><br />"Kita berharap kebutuhan kayu ulin tidak lagi menjadi hambatan dalam pembangunan dan keperluan masyarakat di daerah ini," katanya didampingi Kepala Seksi Produksi, Joko Wasono.<br /><br />Iwan menjelaskan, minimnya realisasi produksi kayu ulin tersebut karena pada tahun 2010 mengalami hambatan alam yakni pihak perusahaan kesulitan mengangkut kayu karena perubahan cuaca (anomali) dengan tingkat curah hujan tinggi.<br /><br />Selain itu para rekanan banyak membeli kayu ulin dari luar perusahaan atau masyarakat dengan alasan harga kayu relatif murah dibanding membeli di perusahaan HPH.<br /><br />"Memang harga jual di perusahaan lebih tinggi, karena mereka harus bayar dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan biaya produksi serta lainnya," jelasnya.<br /><br />Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan itu mengatakan, mulai tahun 2011 ini pihaknya akan mengeluarkan dokumen kayu ulin untuk kegiatan proyek pada masing-masing dinas maupun instansi terkait di daerah ini.<br /><br />Pemberian dokumen untuk memanfaatkan kayu ulin ini hanya ditujukan untuk keperluan daerah dan jangan disalahartikan kalau yang bersangkutan membawa kayu dibawa keluar Daerah untuk di perjual belikan.<br /><br />Kayu ulin yang ditebang perusahaan diperbolehkan menebang dengan ukuran 60 centimeter, karena selama ini kayu tersebut memang dibutuhkan dalam setiap pembangunan di daerah.<br /><br />"Kayu ulin saat ini tergolong langka dan sulit ditemukan, mengingat kayu yang berdiameter besar hampir habis ditebang oleh masyarakat baik untuk dijual maupun kebutuhan sendiri," katanya.<br /><br />Sementara salah seorang kontraktor di Muara Teweh mengatakan meski pemanfaatkan kayu tersebut sesuai izin (legal), namun selama ini para rekanan di kabupaten pedalaman Sungai Barito ini merasakan betapa sulitnya memperolehkan kayu ulin untuk bahan proyek.<br /><br />Di samping itu juga harga yang di tawarkan oleh pihak perusahaan terlalu tinggi, karena mereka memakai harga standar sendiri yang sudah di tetapkan.<br /><br />"Semestinya harga pagu proyek itu disesuaikan dengan harga ulin yang ditetapkan oleh perusahan hak pengusaan hutan yang telah ditunjuk," katanya yang meminta tidak dipublikasikan namanya itu.<br /><br />Selain itu, masalah perizinan kelengkapan dokumen kayu untuk di bawa ke tempat tujuan proses pengajuan dinilai lamban dan memakan waktu, sedangkan kontrak yang di tanda tangani waktunya sangat terbatas.<br /><br />Dengan adanya komitmen yang disepakati oleh Dishutbun maupun aparat kepolisian setempat semestinya ditindak lanjuti dengan perizinan yang cepat, sehingga pengerjaan di lapangan tepat waktu.<br /><br />"Mau nggak mau pihak kontraktor mencari jalan keluar dengan membeli kayu di luar yang di tetapkan dan lagi harga murah," katanya. <strong>(phs/Ant)</strong></p>