Selamatkan Sarung Samarinda Dari Ancaman Industri Tekstil

oleh
oleh

Kain Sarung Samarinda atau "Tajong Samarinda" merupakan satu dari beraneka mahakarya Nusantara. Popularitas kain tenun bermotif indah dan sangat nyaman dikenakan karena kelembutannya itu, bahkan telah sampai ke negeri jiran, khususnya Brunei Darussalam, Malaysia, malahan ke negara-negara di Timur Tengah. <p style="text-align: justify;">Selain pesona keindahannya, Tajong Samarinda pun menjadi terkenal karena juga menjadi simpul pengikat "kebhinekaan" atau keanekaragaman budaya pendatang dengan budaya lokal.<br /><br />Lebih dari itu, tenunan ini pun terkait fakta sejarah, serta cermin keteguhan generasi untuk melestarikan budaya daerahnya.<br /><br />Di balik semua itu, realitasnya, para perajin Tajong Samarinda menghadapi tantangan zaman tidak ringan.<br /><br />Sebut saja persaingan dagang (menjamurnya industri tekstil yang mampu memproduksi barang berkualitas serta volume besar), kurangnya minat generasi muda menjadi penenun, dan persoalan keterbatasan modal usaha.<br /><br />Tantangan terberat, kini, ialah, keberadaan Sarung Samarinda ini secara formal belum diakui dan dipatenkan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten.<br /><br />Kendati begitu, nasib Tajong Samarinda yang bergeliat di tengah dinamika zaman, belakangan kembali membaik.<br /><br />Itu terkait ditetapkannya lokasi Gang Karya Muharam, Kelurahan Masjid dan Baqa, Kecamatan Samarinda Seberang, Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai salah satu tujuan wisata nasional.<br /><br />Sentra para penenun itu pun dijadikan salah satu tempat tujuan wisata nasional, sebagai implikasi dari hasil penandatanganan nota kesepakatan bersama (MoU) tentang "Pencanangan Kampung Perajin" tersebut.<br /><br />MoU yang ditandatangani oleh Hj Okke Hatta Rajasa sebagai Ketua Harian Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dengan Hj Puji Setyowati (Ketua Dekranas Daerah Samarinda), membawa angin segara bagi pengembangan produk budaya ini.<br /><br />Okke mengatakan, salah satu efek penting dengan ditetapkannya Samarinda Seberang sebagai Kampung Perajin, berarti daerah itu masuk dalam tujuan wisata nasional.<br /><br />"Sebagai percontohan Kampung Perajin, maka Samarinda Seberang akan menjadi tujuan wisata nasional. Banyak wisatawan akan melancong ke sini, melihat langsung proses pembuatan tenun Sarung Samarinda, sambil membeli sarungnya sebagai buah tangan tentunya," ujarnya.<br /><br />Tetapi lebih dari itu, menurutnya, para wisatawan itu juga dapat diarahkan berwisata di sekitar sungai Mahakam yang alami serta indah itu.<br /><br />Bagi isteri Menko Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 tersebut, setelah menjadi tujuan wisata nasional, diharapkan Kampung Perajin di Samarinda Seberang akan kian terkenal di mancanegara.<br /><br />Okke optimistis, hal itu bisa terealisasi.<br /><br />Pasalnya, kain Sarung Samarinda mempunyai kekhasan tersendiri, dan selalu dibawa para jemaah haji.<br /><br />Inilah pula yang menjadi faktor pemicu Sarung Samarinda semakin dikenal di mancananegara.<br /><br />Sebenarnya, sejak dahulu Sarung Samarinda sudah diekspor ke beberapa negara, khususnya Brunei Darussalam, Malaysia dan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah.<br /><br />Namun, kegiatan perdagangan ke luar negeri itu tidak bisa berkembang, akibat keterbatasan volume barang.<br /><br />Para perajin kain Sarung Samarinda itu dalam beberapa periode bahkan sempat jatuh-bangun, termasuk terpuruk saat krisis moneter 1998 melanda Indonesia.<br /><br />Pasalnya, sebagian bahan untuk pembuatan kain, seperti benang sutra, harus diimpor.<br /><br />Kain Sarung Samarinda juga harus bersaing ketat dengan perusahaan tekstil seperti yang ada di Gresik, Jawa Timur.<br /><br />Perusahaan ini mampu memproduksi kain Sarung Samarinda yang secara kuantitas mekanis tentu dengan volume sangat besar serta kualitas semakin bersaing ketat.<br /><br />Simpul "Kebhinekaan" Ihwal Sarung Samarinda ini, tidak terlepas dari peristiwa sejarah, yang berawal dari kedatangan rombongan Orang Bugis Wajo, dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado), ketika dia bersama rombongannya hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai (1668).<br /><br />Para Warga Bugis Wajoini masuk Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya, setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda.<br /><br />Mereka minta suaka dan kemudian diterima baik oleh penguasa Kesultanan Kutai.<br /><br />Atas kesepakatan dan perjanjian, Sultan Kutai Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal.<br /><br />Mereka juga (wajib) tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina.<br /><br />Perkampungan yang landai serta adanya amanah Sultan Kutai, menjadikan penduduk di kawasan itu cukup beragam, namun derajatnya sama, baik pendatang maupun warga lokal, sehingga disebut "sama rendah".<br /><br />Itulah sebabnya, kendati dalam perantauan, namun Orang Bugis Wajo tetap melestarikan budaya leluhurnya dalam hal menenun kain secara tradisional. (Kini istilahnya Alat Tenun Bukan Mesin atau ATBM, Red).<br /><br />Sementara itu, warga setempat menyebut alat itu dengan ‘Gedokan’.<br /><br />Keahlian membuat kain tradisional tersebut terus bertahan (dan cukup berkembang) yang melewati beberapa generasi selama ratusan tahun.<br /><br />Lalu, daerah yang dulunya dikenal sebagai kampung "Sama Rendah", kemudian lama kelamaan oleh proses waktu, berubahlah menjadi "Samarinda".<br /><br />Dalam perkembangannya tersebut, kain Sarung Samarinda pun terus mengalami inovasi yang lahir dari hasil kreativitas gabungan lintas warga.<br /><br />Itulah sebabnya, karya budaya berupa kain tenun itu dapat pula disebut sebagai buah "kebhinekaan" atau keanekaragaman budaya antara warga pendatang dan warga lokal.<br /><br />Hal itu tercermin dalam motif kain Tajong Samarinda yang memancarkan kelembutan sutra dipadukan dengan dengan motif Kutai, sehingga menjadi lebih indah, serta semakin kaya oleh warna-warni ceria sebagai ekspresi dari kebudayaan Dayak.<br /><br />Dalam perkembangan lebih lanjut, produk budaya ini bukan sekedar menjadi simpul perekat keanekaragaman budaya.<br /><br />Sebab, selembar kain Tajong Samarinda bisa "bercerita" tentang sebuah tonggak sejarah bangsa, yakni kunjungan pertama kali wakil presiden dan salah satu Proklamator Kemerdekaan RI, yakni Bung Hatta atau Mohammad Hatta.<br /><br />Kain Sarung Samarinda memiliki penamaan sesuai motif.<br /><br />Salah satu motif Tajong Samarinda memadukan warna kotak hitam-merah, yang disebut "Hatama Hassara". (‘Hatama Hassara’ dalam bahasa Bugis Wajo berarti hitam-merah).<br /><br />Kini, kain sarung bermotif kotak hitam-merah tidak lagi dikenal sebagai "Hatama Hassara" namun "Belang Hatta".<br /><br />Penyebutan nama salah satu Proklamator Kemerdekaan RI sebagai tanda kehormatan warga Samarinda terhadap Wakil Presiden pada masa Pemerintahan Bung Karno.<br /><br />Pasalnya, saat berkunjung ke Samarinda 1950-an, Bung Hatta memilih motif "Hatama Hassara" ketika disodorkan kain Tanjong Samarinda sebagai tanda penghormatan warga "Kota Sama Rendah" tersebut.<br /><br />Fluktuasi Global Sebagaimana telah diulas sepintas sebelumnya, kain tenun Samarinda selama ini menghadapi tantangan "klasik", misalnya kurangnya minat generasi muda untuk jadi penenun, dan keterbatasan permodalan usaha.<br /><br />Selain itu, ada ketergantungan terhadap ketersediaan benang sutra impor, sehingga pengaruh ekonomi global (fluktuasi mata uang) berdampak langsung bagi usaha kecil ini.<br /><br />Dalam perkembangan terakhir, keberadaan kain Tajong Samarinda kian terancam oleh hadirnya sejumlah perusahaan tekstil.<br /><br />Misalnya, sebagaimana pula telah sempat disinggung terdahulu, yakni adanya ‘serbuan’ kain Sarung Samarinda hasil produksi sebuah perusahaan industri di Gresik, Jawa Timur.<br /><br />Selain mampu memproduksi kain sarung yang motifnya sama, bahkan secara kualitas dan kuantitas (volume) terkesan lebih baik, karena diolah menggunakan mesin modern.<br /><br />Mungkin, salah satu keunggulan yang masih tersisa dari para perajin tradisional ini, ialah, jika ada permintaan konsumen menenun kain sarung Tajong Samarinda sesuai motif selera individu tertentu.<br /><br />Para perajin kain Sarung Samarinda ini pasti akan bersedia menenun kain sesuai order motif yang diminta secara khusus oleh konsumen, meskipun harus bersabar, karena minimal butuh penyelesaian selama 15 hari.<br /><br />"Mengamati perkembangan terkini, Pemerintah Daerah harus serius terlibat dalam mendapatkan hak paten Sarung Samarinda, karena akan berdampak langsung dalam menumbuhkan usaha kecil di Kampung Perajin tersebut," kata salah seorang tokoh warga Bugis Samarinda, Nasir Balfas kepada ANTARA.<br /><br />Ia juga berharap, agar ada dukungan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda dalam memberikan bantuan modal usaha, ketrampilan serta peralatan, agar para perajin mampu meningkatkan volume produksinya, dengan tetap menjaga kekhasan tenunan.<br /><br />Peningkatan ketrampilan perajin dianggap sangat penting, agar para perajin bisa terus mengekspresikan kreativitas dan inovasi untuk menghadapi persaingan yang kian ketat.<br /><br />Persoalan berikutnya mengenai berlarut-larutnya upaya memperoleh hak paten.<br /><br />Dari penelusuran ANTARA, Pemkot Samarinda sebenarnya pernah mengajukan Hak Paten Sarung Samarinda ke Kementerian Hukum dan HAN, namun sampai kini belum ada beritanya.<br /><br />Hal yang patut direnungkan, ialah, jika Tajong Samarinda dianggap tidak berhak berlebel hak paten, dipastikan "Gedokan" atau "Alat Tenun Bukan Mesin" itu akan remuk tergilas industri tekstil yang menggunakan mesin-mesin modern milik para pemodal besar. <strong>(phs/Ant)</strong></p>