Sertifikat Terbit Dalam Kawasan Hutan. Sekda: "Bukan Alih Fungsi, Ada Tahapan yang Dilalui"

oleh
oleh

Tidak ingin dikatakan melakukan alih fungsi kawasan hutan, Pemkab Sintang langsung melakukan evaluasi, demi kepentingan petani plasma, sertifikat keluar, persoalan semakin jelas jika proses keluarnya izin dirunut dari awal. <p style="text-align: justify;">“Kami sudah melakukan rapat untuk masalah ini, yang jelas ini bukan soal alih fungsi kawasan hutan, karena persoalan harus dirunut dari awal sebelum lokasi itu ditetapkan sebagai kawasan hutan,” kata Zulkifli HA, Sekretaris Daerah Kabupaten Sintang kepada kalimantan-news.<br /><br />Persoalan alih fungsi kawasan ini menjadi sensitif setelah Kementerian Kehutanan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Satgas Mafia Hukum dan beberapa lembaga negara lainnya membentuk tim terpadu untuk menginventarisasi kawasan hutan yang mengalami alih fungsi termasuk di Kalbar yang sudah terindikasi melibatkan beberapa kabupaten, apalagi alih fungsi kawasan ini sangat erat kaitannya dengan upaya pemerintah memberantas tindak pidana korupsi.<br /><br />Menurut Zulkifli, untuk di Sintang sudah tidak jadi persoalan artinya bagi kawasan hutan yang telah terbit izin perkebunan sebelum keluarnya SK baru mengenai penetapan kawasan hutan di kalbar dan bahkan kini lahannya telah bersertifikat tidak akan dipermasalahkan lagi.<br /><br />“Sisanya yang belum dibuka itu yang tidak bolah diganggu karena sudah ditetapkan menjadi kawasan hutan,” jelasnya.<br /><br />Kronologis perubahan status kawasan itu kemudian diperoleh dari Kepala Bidang Pengembangan Usaha Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang, Suhaidi.<br /><br />Ia menjelaskan pada tahun 1982, Menteri Pertanian ketika itu menerbitkan Surat Keputusan nomor 757/KPTS/UM/10/1982 tertanggal 12 Oktober 1982 tentang penunjukan wilayah hutan di Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dengan luas 9.204.375 hektar.<br /><br />“Dari keputusan tersebut, wilayah desa Setungkup dan Kenua di daerah Binjai Hulu merupakan kawasan Areal Penggunaan Lain,” kata Suhaidi.<br /><br />Namun ketika itu di dua desa tersebut juga masuk dalam areal kerja Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Tawang Meranti dan PT Tunas Inti Timber.<br /><br />“Meskipun masuk dalam areal kerja HPH, untuk di dua desa tersebut memang tidak ada aktivitasnya,” paparnya.<br /><br />Selanjutnya kata dia, pada 20 Juni 1996, terbitlah izin lokasi PT Bonti Permai Jaya Raya yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Sintang dimana dua desa yaitu Setungkup dan Kenua masuk dalam ijin lokasi perusahaan tersebut.<br /><br />“Sampai tahun 1998 kebun yang dibangun sudah mencapai 1.965 hektar terdiri dari 938 hektar untuk kebun inti dan 1027 hektar untuk 516 kepala keluarga petani plasma,” bebernya.<br /><br />Setelah 1998 menurutnya perusahaan sudah tidak melakukan perluasan kebun lagi dan hanya merawat dan memelihara kebun yang sudah dibangun itu.<br /><br />Persoalan kemudian muncul ketika pada 2000 lalu, Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan nomor 259/KPTS-II/2000 tertanggal 23 Agustus 2000 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Kalbar dimana dua desa yang sudah dibangun kebun sawit tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi.<br /><br />Kebun sudah terbangun sementara petani plasma sudah saatnya menerima penyerahan lahan dari perusahaan yang memerlukan sertifikat sebagai pengakuan hak kepemilikan, akhirnya pada 2005 terbitlah keputusan bupati sintang tentang perubahan fungsi kawasan hutan produksi disekitar dua desa itu menjadi kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disusul dengan terbitnya sertifikat kebun plasma milik masyarakat.<br /><br />“Jadi sejak awal lokasi PT Bonti itu adalah APL, perubahan terjadi ditengah jalan sementara masyarakat butuh kepastian lahan ketika sudah tiba waktunya untuk diserahkan,” ucapnya.<br /><br />Kalaupun itu dipersalahkan, tentunya kata dia semua yang dilakukan hingga keluarnya SK Bupati semata demi kepentingan masyarakat petani plasma karena persoalan ini muncul setelah perusahaan operasional, baru kemudian penetapan kawasan hutan muncul.<br /><br />“Untuk memberikan sertifikat lahan oleh perusahaan ke masyarakat tentunya butuh waktu, menunggu beberapa tahun, melihat kondisi kebun layak atau tidak untuk dilakukan sertifikasi,” tukasnya.<strong> (phs)</strong></p>