Singkong Jadi Makanan Pokok Keluarga Miskin

oleh
oleh

Keluarga miskin di Kampung Cigawir, Desa Citamba, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terpaksa sehari-harinya makan singkong atau umbi-umbian jika tidak mampu membeli beras. <p style="text-align: justify;">"Kalau tidak bisa beli beras, kami terpaksa makan umbi-umbian termasuk singkong," kata Didi (50) salah seorang waga miskin di Tasikmalaya, Kamis (27/01/2011). <br /><br />Dididampingi istrinya, Ny Piah (41), Didi yang sehari-hari bekerja serabutan dengan penghasilan setiap harinya berkisar Rp20 ribu hingga Rp25 ribu, bahkan terkadang tidak mendapatkan uang saat pulang ke rumah. <br /><br />Didi yang dikarunia anak 14 orang itu, tiga diantaranya sudah meninggal dunia, dua orang pergi merantau dan sembilan orang tinggal bersama di rumah panggung dengan satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur. <br /><br />"Sebenarnya saya juga tidak tega memberi makan singkong atau ubi, tapi bagaimana lagi, saya tidak mampu membeli beras," kata Didi lirih. <br /><br />Meskipun ada pembagian beras Raskin dari pemerintah yang dibeli harga murah, kata Didi, dengan batas pembelian 15 kg setiap bulan tidak cukup memenuhi kebutuhan makan sebulan bersama untuk istri dan sembilan anaknya. <br /><br />Dalam sebulan, Didi mengaku lebih banyak makan umbi-umbian daripada nasi, karena uang hasil kerja serabutannya tidak cukup untuk membeli beras setiap hari dengan lauk pauknya. <br /><br />Bahkan ketika makan umbi-umbian, keluarga tersebut melakukan pengaturan pembagian makanan dengan bagi rata untuk sembilan anak, istri termasuk Didi. <br /><br />"Pendapatan suami saya tidak mencukupi membeli kebutuhan makan sehari-hari, terkadang tidak makan nasi, dan diganti dengan makan singkong atau ubi," kata Piah, istri Didi yang sekarang sedang mengandung tiga bulan. <br /><br />Sementara itu, pasangan suami istri tersebut menikah di usia muda, ketika Piah masih berusia 14 tahun dan suaminya 23 tahun. Buah perkawinan itu dikaruniai anak 14 orang. <br /><br />Sebelumnya sempat mengikuti program KB, namun tidak cocok karena terjadi pendarahan, sehingga tidak mau memasang KB lagi. <br /><br />"Dulu sempat pasang KB, tapi pendarahan terus, akhirnya dilepas," kata Piah. <br /><br />Dengan kondisi ekonomi terbatas, keluarga tersebut hanya mampu bertahan dengan harapan anak-anaknya nanti dapat mengubah kehidupan keluarganya lebih baik. <br /><br />"Saya hanya bisa berikhtiar terus, semoga membawa perubahan yang lebih baik buat keluarga saya," kata Didi menjelaskan anak pertamaya yang merantau berusia 23 tahun dan yang kecil 14 bulan. <strong>(phs/Ant)</strong></p>