Undang-Undang Pengadaan Tanah Inkonstitusional

oleh
oleh

Ketika DPR dan Pemerintah membahas RUU Pengadaan Tanah, organisasi-organisasi masyarakat yang selama ini bekerja untuk reforma agraria, memberikan penolakan terhadap RUU tersebut. Kini ketika telah disahkan, perdebatan masih terus bisa dilakukan, melalui sebuah mekanisme di Mahkamah Konstitusi, untuk menguji apakah undang-undang tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. <p style="text-align: justify;"><strong>Fungsi Sosial Tanah</strong><br /><br />Pada bagian Mengingat dari Undang-Undang Pengadaan Tanah, merujuk kepada Pasal 33 (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA 1960).<br /><br />UUD 1945 Pasal 33 mengamanatkan bahwasannya kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam Putusan atas Uji Materi Undang-Undang Penanaman Modal, Hakim Mahmakah Konstitusi menjelaskan makna dari Pasal 33 UUD 1945, yaitu, ”dalam rumusan tersebut terdapat kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi dan karena itu penting ditegaskan adanya penguasaan oleh negara. Kepentingan yang hendak dilindungi oleh konstitusi adalah kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Dengan adanya pembatasan dan pendistribusian demikian berarti sumber ekonomi akan tersebar pula secara lebih merata dan pada akhirnya akan tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat.”<br /><br />UUPA 1960 sebagai operasionalisasi dari Pasal 33 UUD 1945 telah mengatur bagaimana Hak Menguasai Negara atas tanah agar untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA 1960 kemudian menunjukan benang merah antara batas maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah, kepentingan umum dan redistribusi tanah (landreform) yang bersumber dari Pasal 6 UUPA 1960 yang menyatakan, setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial.<br /><br />Menurut Sudargo Gautama (Tafsir Undang2 Pokok Agraria; 1973) fungsi sosial ini dimaknai. Pertama. Bahwa hak atas tanah tidak boleh dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi pemakainya; Kedua. Pemakaian atau tidak dipakainya tanah dengan cara yang merugikan atau dirugikannya masyarakat tidak dibenarkan; Ketiga. Bahwa tanah harus dipergunakan sesuai dengan keadaan dan sifat haknya; Keempat. Penggunaan tanah membawa manfaat bagi pemilik (yang punya tanah), masyarakat dan negara; Kelima. Penggunaan hak milik tanah haruslah disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan negara.<br /><br />Inti dari fungsi sosial tanah, pemilikan dan penggunaan tanah tidak boleh berdampak buruk terhadap lingkungan, masyarakay, dan negara, oleh karenanya pasal 7 UUPA 1960 kemudian memberi aturan“untuk tidak mengganggu kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah melebihi batas maksimum tidak diperkenankan.” Lalu Pasal 17 (3) UUPA 1960 mengatur, Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah<br /><br />Dalam rangka pemerintah dapat mencabut hak atas tanah yang melebihi batas maksimum, maka di UUPA 1960 Pasal 18 dinyatakan “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.<br /><br />Adapun yang dimaksud dengan kepntingan bangsa dan negara serta rakyat merujuk pada Pasal 14 UUPA 1960, terkait rencana penggunaan tanah oleh pemerintah untuk keperluan Negara; untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.<br /><br />Rencana penggunaan tanah itu sendiri merujuk pada UUPA 1960 Pasal 2 (2) dan (3) yang mengatur Hak Menguasai Negara untuk sebesar kemakmuran rakyat; Pasal 9 (2) yang menyatakan hak warga negara untuk memperoleh tanah dan Pasal 10 (1) yang mewajibkan tanah pertanian untuk dikerjakan sendiri oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara pemerasan.<br /><br />Maka dapat disimpulkan, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda Diatasnya, lahir dalam kerangka redistribusi tanah (landreform) dan rencana semesta penggunaan tanah)<br /><br /><strong>Menyimpangi UUD 1945 dan UUPA 1960</strong><br /><br />Meski merujuk ke Pasal 33 (3) UUD 1945 dan UUPA 1960, tetapi Undang-Undang Pengadaan Tanah lahir tidak dalam kerangka yang diatur oleh UUPA 1960, yaitu bagian dari upaya meredistribusi tanah dan rencana semesta penggunaan tanah, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran hukum yang menciptakan pelanggaran konstitusional berupa kepastian hukum yang adil yang dilindungi oleh Pasal 28 D (1) UUD 1945<br /><br />Undang-Undang Pengadaan Tanah telah mendefinisikan tentang kepentingan umum di Ketentuan Umum, Pasal 1 (6), Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sekaligus juga membuat daftar apa saja yang masuk kategori kepentingan umum di Pasal 10. Di Pasal 9 Undang-Undang Pengadaan Tanah menyebutkan, Kepentingan Umum harus seimbang antara Kepentingan Negara dan Kepentingan Masyarakat. Akan tetapi undang-undang ini tidak menjelaskan apa itu :keseimbangan dan bagaimana mewujudkan keseimbangan itu, sehingga memunculkan adanya ketidakpastian hukum, karena pemerintah sebagai pelaksana undang-undang bisa dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat padahal kepastian hukum yang adil adalah hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 28 D (1) UUD 1945.<br /><br />Ketidakpastian hukum yang adil secara faktual dirasakan masyarakat, khususnya para korban konflik agraria, masyarakat tak bertanah, buruh tani atau petani penggarap dan petani kecil atau petani gurem. Karena adanya kewajiban konstitusional negara untuk meredistribuskan tanah melalui reforma agrara dalam rangka menciptakan keadilan sosial, serta kewajiban hukum untuk meredistribusikan tanah yang melebihi batas maksimum untuk diredistribusikan kepada rakyat yang kepemilikan dan penguasaan tanahnya di bawah batas minimum, namum hingga kini pelaksanaanya tidak ada.<br /><br />Ketidakpastian hukum ini, juga mengakibatkan, perlakuan yang sama dihadapan hukum yang dilindungi oleh Pasal 28 D (1) terhalangi karena upaya menyeimbangkan kepentingan dalam pengadaan tanah bisa dilakukan sepihak oleh pelaksana undang-undang.<br /><br />Pasal 10 Undang-Undang Pengadaan Tanah, daftar “kepentingan umum” juga banyak ketidakjelasanya, misalnya apakah Jalan Tol masuk kategori Jalan Umum, apakah Pasar Umum itu adalah juga Mall (pusat perbelanjaan), dan tidak memasukan persawahan milik rakyat sebagai kepentingan umum, padahal Jalan Tol dan Mall berpotensi mengalih fungsi lahan pertanian pangan milik masyarakat. Tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 28D (1), dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum<br /><br />Ketika UUPA 1960 menyatakan tanah melebihi batas maksimum menganggu kepentingan umum, maka seharusnya pengadaan tanah bagi rakyat yang tanahnya di bawah batas minimum adalah masuk kategori kepentingan umum, artinya Pasal 10 Undang-Undang Pengadaan Tanah bertentangan dengan Pasal 33 (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, di mana Mahkamah Konstitusi telah meletakan redistribusi lahan adalah bagian dari fungsi Hak Menguasai Negara dan UUPA 1960 sebagai operasionalisasi Pasal 33 UUD 1945 telah menjelaskan bahwa pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum bersumber dari larangan penguasaan dan pemilikan tanah melebihi batas maksimum.<br /><br />Karena tidak berupaya melakukan pengadaan tanah bagi rakyat, maka dalam persoalan ganti rugi, Pasal 36 Undang-Undang Pengadaan Tanah, tidak memasukan tanah sebagai ganti kerugian. Apakah petani dan nelayan yang hidup dari akses langsung kepada sumber agraria dan sumber pangan harus meninggalkan penghidupannya dengan berbekal uang pengganti, Pelanggaran atas ruang hidup adalah pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”<br /><br />Bahkan, di Pasal 41 Undang-Undang Pengadaan Tanah, masyarakat yang tidak memiliki bukti penguasaan dan pemilikan tanah tidak mungkin dapat ganti kerugian, padahal kalau terkait tanah ulayat, tidak ada sertifikatnya. Lalu cara pandang Badan Pertanahan Nasional yang hanya mengeluarkan sertikat tanah apabila “clear and clean” hal ini tidak mungkin ada di wilayah konflik agraria. Tapi juga bisa dikatakan bahwa lemahnya alat bukti kepemilikan tanah, akibat masih amburadulnya adminitrasi pertanahan negara ini. Pelanggaran atas hak milik adalah pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 28G (1), “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.<br /><br />Nampaknya, masyarakat harus segera mendaftar gugutan judicial review Undang-Undang Pengadaan Tanah ke Mahkamah Konstitusi. <strong>(phs/Komisi Pembaharuan Agraria, www.kpa.or.id/?p=764)</strong><br /><br /><em><strong>* Penulis adalah Ketua IHCS, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice</strong></em></p>