Persoalan di sektor investasi perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat seakan tidak ada akhir dari awal proses awal masuknya investasi hingga operasional. Giliran warga Nanga Mau Kecamatan Kayan Hilir yang mengeluhkan aktivitas perusahaan di wilayah mereka. <p style="text-align: justify;">“Banyak yang tidak sesuai dengan awal masuknya investasi perkebunan ini dari soal koperasi, kemitraan hingga akad kredit yang tidak transparan,” kata Kepala Desa Nanga Mau, Ayub saat dihubungi Kalimantan-news, Sabtu (26/02/2011.<br /><br />Ia mengatakan ada tiga perusahaan di wilayah mereka yang beroperasi namun kurang memberikan perhatian pada hak-hak masyarakat <br /><br />Yang pertama ia soroti adalah soal koperasi petani dalam lingkup operasional perusahaan, dimana sejak dibentuk pada 2007, sampai saat ini koperasi masih sepenuhnya dibawah kendali perusahaan.<br /><br />“Dari beberapa usaha penunjang yang sudah ditetapkan sebagai bagian dari kegiatan koperasi, seperti angkutan dan pemenuhan kebutuhan pokok, dua diantaranya tidak diakomodir yaitu pengadaan pupuk dan BBM,” kata Ayub.<br /><br />Padahal kata dia, usaha penunjang itu sudah ditetapkan bersama dan dilindungi hukum karena koperasi itu legal.<br /><br />“Kalau memang tidak bisa jadi bagian dari usaha penunjang koperasi, kenapa dua item itu dimasukkan waktu pendirian,” kata dia.<br /><br />Ia meminta dua item itu dicabut agar nantinya koperasi tidak cacat hukum dan jangan ditunda lagi untuk realisasi usaha penunjang lainnya agar koperasi benar-benar berfungsi membantu masyarakat.<br /><br />“Dua hal itu lebih baik di cabut dan segera realisasikan usaha penunjang koperasi lainnya,” ucapnya.<br /><br />Selain itu, soal akad kredit, ia menilai ada upaya yang sengaja disembunyikan perusahaan dari masyarakat.<br /><br />“Seharusnya sebelum akad kredit ditandatangani, mestinya disampaikan ke semua elemen masyarakat apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bersama disaksikan pemerintahakn desa, kecamatan dan lainnya,” kata dia.<br /><br />Tetapi menurutnya yang terjadi dilapangan mengindikasikan ada upaya sepihak yang dilakukan perusahaan dimana ketika itu rekan-rekan mereka yang dibawah naungan koperasi dibawa ke Pontianak dan dibilang akan ikut pelatihan serta bertemu pejabat perusahaan.<br /><br />“Nyatanya sesampainya di Pontianak mereka diminta menandatangani MoU untuk akad kredit, jadi mereka merasa dijebak karena isi MoU itu akhirnya sepihak,” kata dia.<br /><br />Menurutnya, dalam akad kredit itu kewajiban petani sudah tercantum hitungan lebih kurang Rp 54 juta.<br /><br />“Itu untuk apa saja kami juga tidak tahu, padahal seharusnya sebelum tandatangan MoU, sudah seharusnya ada penjelasan uang itu untuk apa saja. Jelas kami tidak terima dan menolak akad krdit tersebut,” jelasnya.<br /><br />Soal pola, ia menilai dengan 8:2, jelas saja sangat menyakitkan masyarakat karena porsi besar tetap berada di perusahaan.<br /><br />“Jelas ini menyengsarakan masyarakat dan kami akan terus menerus menyarakan masalah ini,” tegasnya. <strong>(phs)</strong></p>