Besi Tua Ubah Hidup Djaenudin

oleh
oleh

Orang awam tentu tidak begitu peduli bila menemukan besi tua berceceran di jalan atau di dekat sampah, karena yang tertanam dalam benaknya dijual belum tentu ada yang beli. Kalaupun ada yang mau membeli pasti tukang loak yang kemudian ditukar dengan abu gosok atau uang yang jumlahnya relatif kecil. <p style="text-align: justify;">Padahal bila besi tua tersebut dikumpulkan terus hingga menjadi banyak akan menjadi ladang uang, karena pasti dibeli oleh pabrik pengolah besi tua. <br /><br />Usaha inilah yang ditekuni H Tb Dedi Djaenudin (62) sehingga ia mampu membeli mobil dan membangun rumah mewah serta membuka rumah makan.<br /><br />Bagi Djaenudin berkecimpung di usaha besi tua bukan hal yang baru. Orangtuanya Pak Entus (alm) sudah lama mengembangkan usaha tersebut di Tanjung Priok (Jakarta) pada tahun 1960-an. Ia ikut membantu bapaknya itu ketika masih berusia 20 tahun.<br /><br />Dari pengalaman itulah yang membuat Djaenudin berani membuka sendiri usaha tersebut di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, sekitar Tahun 1997. <br /><br />Djaenudin yang asli orang Banten tersebut membeli tanah di Jalan Raya Pandeglang Km 15, Kampung Honje, Desa Sukasari, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, Provinsi Banten seluas 2.500 meter, kemudian berangsur-angsur ia memperluas hingga mencapai 5.600 meter persegi.<br /><br />Tanah seluas itu sebagian digunakannya untuk tempat mempres besi tua dan gudang menyimpan besi. Sebagian lagi dibangunnya rumah makan dengan nama "Rumah Makan Honje", dan sebagian lagi dibangunnya lapangan olahraga futsal.<br /><br />Berbagai besi tua dibelinya dari berbagai pengumpul besi bekas, tidak hanya yang berasal dari Kota Serang ( Banten) tetapi juga dari Sumatera dan Jawa yang dikirim bertruk-truk.<br /><br />Besi-besi berbagai jenis dan ragam tersebut dimasukkan dalam tempat cetakan yang kemudian di "press" hingga berbentuk segi empat.<br /><br />"Ada empat mesin `press` yang kami miliki, tapi saat ini tidak semuanya dipakai karena pasaran lagi lesu," kata Djaenudin yang dikaruniai enam anak dari hasil perkawinannya dengan Lilis.<br /><br />Besi-besi yang sudah dicetak tersebut dikirim ke pabrik baja di Kawasan industri Cikande, Kabupaten Serang.<br /><br />"Kami sudah ada perjanjian kontrak dengan pengelola baja, sehingga mereka butuh besi tua maka kami kirim ke alamatnya, namun tahun ini sepertinya pasaran lagi lesu," kata Djaenudin yang sempat kuliah di Fakultas Hukum di Jakarta sampai tingkat dua atau semester empat.<br /><br />Djaenudin mengakui usaha di besi tua membutuhkan dana operasional yang kuat, karena sistem jual belinya tidak "cash and carry", pembeli mengutang dulu dan baru dibayar satu bulan.<br /><br />Oleh karena itulah, kata Djaenudin, bantuan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp350 juta pada 1998 sangat menolong biaya operasional.<br /><br />Setelah melunasi uang pinjaman dari BRI Rp350 juta, Djaenudin kembali mendapatkan suntikan dana segar Rp3 miliar pada 2011 yang digunakan untuk biaya operasional, selain untuk diversifikasi usaha dengan membuka rumah makan dan membangun lapangan futsal.<br /><br />Keberanian Djaenudin meminjam dana sebesar itu tampaknya sudah diperhitungkan dengan matang. Dengan mengelola tiga jenis usaha yang berbeda, Djaenudin tetap pada prinsip tidak mudah menyerah dan harus terus maju.<br /><br />"Dengan kerja keras, apapun halangan harus mampu dilewati. Biasanya semakin tinggi keinginan, maka semakin tinggi pula cobaan yang dihadapi, dan itu harus dihadapi, jangan mundur," katanya.<br /><br />Meskipun demikian ia tetap melakukan usaha tersebut secara hati-hati, tidak ceroboh.<br /><br />Rencana ke depan, Djaenudin terus mengembangkan usaha yang telah ada, dan berpikir untuk menjadi kontraktor disamping mengelola sarana futsal dan rumah makan. <strong>(das/ant)</strong></p>