Salah satu faktor pendorong perubahan iklim adalah proses deforestasi dan degradasi kawasan berhutan yang menghasilkan pemanasan global melalui perubahan pada jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfir. <p style="text-align: justify;">Terdapat dua pengarusutamaan (mainstreaming) dalam menghadapi perubahan iklim, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi adalah cara bagaimana penyelarasan dan penyesuaian akibat dari perubahan iklim untuk bertahan hidup. <br /><br />Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi akan atau sudah terjadi. Sedangkan mitigasi adalah kegiatan jangka panjang yang dilakukan untuk menghadapi dampak dengan tujuan untuk mengurangi risiko atau kemungkinan terjadi suatu bencana. <br /><br />Salah satu upaya mitigasi yang cukup dikenal saat ini adalah Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), merupakan salah satu upaya pencegahan deforestasi dan kerusakan hutan. Mengacu pada Bali Action Plan hasil COP 13 UNFCCC 2007 di Bali, dalam paragraf 1 b (iii) disebutkan bahwa REDD adalah pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang. <br /><br />Menurut data dari Winrock Internasional, kehilangan hutan Indonesia dari tahun 2000-2005 sebesar 701.000 ha/tahun, sedangkan kehilanggan karbon dari deforestasi sebesar 324 Mt Co2/tahun dan 60 Mt Co2/tahun. Berdasarkan data dari Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, estimasi laju deforestasi per tahun rata-rata sebesar 194,76 Km², dengan rata-rata hilang karbon akibat deforestasi tahunan sebesar 2.746.060 ton karbon. <br /><br />“Data degradasi dan deforestasi yang menyebabkan kehilangan karbon ini merupakan ancaman yang cukup besar bagi kawasan berhutan yang bernilai konservasi tinggi yang berdampak langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan”, kata Ir. M. Murjani, MT, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sintang. </p> <p style="text-align: justify;"><br /><img src="../../data/foto/imagebank/20110809124444_B860657.JPG" alt="" width="640" height="450" /></p> <p style="text-align: justify;">Berdasarkan kajian WWF-Indonesia di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi, karbon yang hilang dari tahun 1990-2008 sebesar 4.534.112 tC yang diakibatkan oleh laju deforestasi dan degradasi. “Prediksi ke depannya, dengan praktek pengelolaan sumber daya hutan seperti sekarang, pada tahun 2020 wilayah tersebut akan kehilangan karbon sebesar 2.915.668 tC dan pada tahun 2030 sebesar 5.718.135 tC. Untuk mengurangi kehilangan karbon tersebut, diperlukan komitmen dan intervensi yang implementatif dan konkret kepada masyarakat, pemerintah daerah maupun Balai Taman Nasional ,” tegas Hermayani Putera, Manajer Program Kalimantan Barat, WWF-Indonesia. <br /><br />Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai REDD dan bagaimana proses serta tahapan dalam mekanismenya masih sangat minim di kalangan banyak pemangku kepentingan. Untuk itu, dalam upaya memberi pemahaman dan informasi yang lebih komprehensif megenai REDD kepada para pihak, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sintang menyelenggarakan Workshop dan Pelatihan REDD kepada pemangku kepentingan di wilayah Jantung Kalimantan (Heart of Borneo) di Kalimantan Barat, mencakup Kapuas Hulu, Melawi, dan Sintang. Workshop dan Pelatihan diikuti 40 orang peserta dari 3 pemerintah daerah di wilayah HoB ini dan kalangan akademisi, dengan narasumber berasal dari Fauna Flora Internasional-Indonesia Program dan WWF-Indonesia. <br /><br />“Dari pelatihan ini pemerintah daerah dapat memahami perkembangan terbaru isu-isu REDD di internasional dan nasional serta bagaimana ini bisa dikaitkan dengan konteks dan kepentingan daerah masing-masing. Selain itu, melalui acara ini peserta juga bisa memahami dasar-dasar proses perhitungan karbon di masing-masing wilayah,” tambah Rudi Zapariza, Project Leader Sintang-Melawi, Program Kalimantan Barat, WWF-Indonesia. <br /><br />Tujuan dari kegiatan ini adalah adanya pemahaman yang lebih baik tentang perubahan iklim serta pengarusutamaan mitigasi dan adaptasi; memahami REDD dalam kebijakan internasional dan nasional; alur dan mekanisme menuju REDD dan elemen-elemen pendukung ke arah perdagangan karbon; membangun pemahaman dalam perhitungan kabon (carbon accounting); dan berbagi pengalaman dari program-program REDD di Indonesia.<br /><br />Perlu di ketahui, WWF adalah salah satu organisasi lingkungan, dengan hampir 5 juta supporter dan jaringan global yang bergerak di lebih dari 100 negara. Misi WWF adalah menghentikan degradasi alam dan membangun masa depan dimana manusia dapat hidup secara harmonis dengan alam, melalui konservasi keragaman hayati dunia, penggunaan energi yang dapat diperbaharui, dan pengurangan polusi dan konsumsi yang tidak bijak. Kantor pusat WWF-Indonesia di Jakarta mengoordinasikan 25 kantor lapangan di seluruh Indonesia.<strong> (*)</strong></p>