Forum SGD, Jarot Ungkap Kondisi Hutan di Sintang

oleh
oleh

SINTANG, KN – Bupati Sintang, Jarot Winarno menghadiri sekaligus menjadi pembicara pada forum SDG (Sustainable Development Goals) Talks Vol. 10 yang mengusung tema “Saving Our Forest Beyond Forest State, Indigenous Communities and Climate Change” di Greenhouse Coworking Space Multivision Tower Lantai 25, Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2020).

SDG talk merupakan ajang diskusi panel bulanan yang mengundang pembicara muda yang aktif dalam isu yang menjadi perhatian. Kegiatan ini menyasar anak muda di Jakarta dan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu yang berkaitan dengan  Sustainable Development Goals.

Selain itu, kegiatan SDG Vol. 10 ini merupakan kerjasama dengan Kalfor Project UNDP Indonesia.

Hadir juga menjadi pembicara pada kegiatan ini yakni Bandi Apai Janggut yang kenal sebagai Tuai Rumah Betang Sungai Utik atau dari Komunitas Dayak Sungai Utik Kabupaten Kapuas Hulu penerima penghargaan Recipient of UNDP Equator Prize 2018 dari PBB, Kristiana Banang yang juga dari Komunitas Dayak Sungai Utik Kab. Kapuas Hulu dan sejumlah pembicara lainnya.

Dalam forum tersebut Bupati Sintang, Jarot Winarno menyampaikan bahwa pemerintah Kabupaten Sintang berkomitmen menyelaraskan kebijakan untuk melindungi hutan dan lingkungan bagi generasi masa depan melalui pembangunan yang berkelanjutan yaitu menjaga konservasi lingkungan, kemudian membangun ekonomi masyarakat dan  pembangunan sosial budaya termasuk adat istiadat.

“Saya sudah tinggal di hutan rimba kalimantan selama 34 tahun, jadi menyaksikan dimana dulu waktu saya jadi dokter tu saya lewat riam-riam tepi sungai ada monyet-omyet klasi tu masih banyak. Biasa juga kalo saya pake motor trail itu biasa orang hutan turun nyegat saya, saya biasa bawa kacang apa kan kasi mereka dulu baru saya bisa lewat. Tapi itu dulu, sekarang habis semuanya,” cerita Jarot.

Masih lanjut Jarot, guna mendukung pelestarian hutan, masyarakat adat dan komunitas masyarakat masih dalam kawasan hutan mengganggap bahwa hutan itu adalah bapaknya. Tanah itu adalah ibunya dan air adalah darahnya.

Hal itu merupakan prinsip bahwa hidup dari hutan dan hidup juga dari hasil hutan. “Masyarakat adat itu hidup dari hasil hutan bukan kayu, kayu pun digunakan nda boleh buat bisnis, tapi buat keperluan sendiri bikin rumah atau lainnya,” ungkapnya.

Karena itu, kata Jarot, sebagai generasi penerus harus memahami bahwa hutan itu kaya raya sehingga harus di jaga. “Kita tidak boleh mengizinkan orang merusak hutan dan kita juga harus menyerahkan kepada ahlinya untuk menjaga hutan tersebut yakni masyarakat setempat. Jadi, seperti pak Bandi atau Apai Janggut ni heros atau pahlawan yang menjaga hutan,” tuturnya.

Sama juga halnya, kata Jarot, di Kabupaten Sintang itu masyarakat di Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai sangat menjaga hutannya, karena ada beberapa tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami pakaian atau kain tenun.

“Masyarakat di rumah betang ensaid panjang itu tidak mau merusak hutannya, karena takut sumber pewarna alam ini habis,” ujar Jarot.

Terkait Sustainable Development Goals atau pembangunan yang berkelanjutan, menurut Jarot, tidak akan tercapai tanpa melibatkan masyarakat yang paling bawah. Karena itu, Kabupaten Sintang sudah memiliki konsep rencana aksi daerah Sintang Lestari tahun 2030.

“Sehingga perda pengakuan hukum adat dan lembaga adat kita sudah ada. Kemudian kita juga sudah memilik Peraturan Bupati (Perbub) tentang cara membuka lahan tidak membakar dan maupun dengan membakar,” pungkasnya. (*)