Guru Besar Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto Juwana mengatakan pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar terkait isyarat akan disetujuinya perjanjian "Transfer of Sentenced Person (TSP)" atau pertukaran narapidana sangat disayangkan. <p style="text-align: justify;">Menurut Hikmanto, di Jakarta, Jumat (14/01/2011), dalam pernyataannya Menkumham menyampaikan dasar hukum bagi Perjanjian TSP di Indonesia adalah Undang-undang pemasyarakatan yang akan direvisi. <br /><br />"Padahal Menkumham seharusnya tahu untuk kerjasama antar negara dibidang TSP dibutuhkan Undang-undang tersendiri dan tidak seharusnya sekedar dicantolkan dalam UU Pemasyarakatan," kata nya. <br /><br />Dia menegaskan bahwa dalam kerjasama antarnegara bidang pidana lainnya seperti Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance), kedua perjanjian tersebut didasarkan pada UU tersendiri yaitu UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik. <br /><br />"Pernyataan untuk mencantolkan pada UU Pemasyarakatan mengesankan Menkumham tidak paham tentang kerjasama antarnegara di bidang pidana, padahal ini merupakan ruang lingkup kerjanya," ungkap Guru Besar Hukum Internasional ini. <br /><br />Hikmanto juga menduga pernyataan Patrialis Akbar usai kunjungannya dari Canberra dapat mengesankan di sana fasilitas bagi narapidana sangat mewah, sehingga dia memaklumi jika ada tawaran untuk dilakukan perjanjian TSP merupakan suatu pernyataan yang absurd. <br /><br />"Absurd karena Menkumham lebih berpihak pada kepentingan Australia daripada kepentingan Indonesia," tambahnya. <br /><br />Hikmanto juga menilai Menkumham seolah hendak membiarkan warga negara Indonesia menderita dalam Lembaga Pemasyarakatan yang tidak layak huni tetapi kondisi demikian tidak seharusnya berlaku bagi warga Australia yang divonis oleh Pengadilan Indonesia.<strong> (phs/Ant)</strong></p>