Idul Adha, Saat Berbagi Dan… Nyate Bareng!

oleh
oleh

Pagi itu sekitar pukul 06.00 WIB, ratusan umat muslim berbondong-bondong berkumpul di jalanan depan ruko Blok C, Pondok Ungu Permai, Bekasi Utara. Mereka membawa sajadah dan koran sebagai alas sajadah untuk shalat Idul Adha. <p style="text-align: justify;">Kompleks ruko yang ramai itu kini sepi, tak ada lalu lalang mobil dan motor. Garis-garis cat putih berjejer rapi di tengah jalan sebagai batas barisan shalat. Mereka tak henti bertakbir, memuji keagungan Pencipta semesta. Ada seorang muslim terus memutar tasbih dengan kepala tertunduk dan mulut berkomat-kamit memuji asma Allah. <br /><br />Ada juga seorang muslim yang duduk bersimpuh sambil mengadahkan tangan ke atas seperti orang yang meminta. Sambil menitikkan air mata, ia meminta harapan dan impiannya lekas terkabul.<br /><br />Jalan yang tadinya menjadi pusat perbelanjaan, kini berubah mendadak menjadi tepat spiritual. Tempat memanjatkan doa kepada hadirat illahi. <br /><br />Tepat pukul 07.00 WIB, kaum muslimin menjalankan shalat Idul Adha 1433 Hijriah, Jumat, sebanyak dua rakaat. Shalat itu diawali tujuh takbir di rakaat pertama dan lima takbir di rakaat kedua. <br /><br />Setelah itu, penceramah naik ke mimbar. Ia adalah ustad Drs Abdul Wahid, katanya, "Tiga cara kaum muslimin untuk menjadi muslim yang kaffah (sempurna) dan mewujudkan kehidupan yang damai di Indonesia, mengingat bangsa Indonesia masih terus berjuang mengatasi persoalan bangsa."<br /><br />Pertama, perbedaan bukanlah akar perpecahan tapi jalan menuju persatuan. Ia menggambarkan pelaksanaan ubadah haji yang dimulai dengan rukun ihram dan diakhiri dengan tahallul. Saat ihram, para jemaah haji menggunakan pakaian ihram putih tanpa jahitan. <br /><br />Hal itu melambangkan kain kafan, kain yang akan umat muslim kenakan ketika kembali ke Allah SWT. Pakaian ihram itu juga melambangkan semua manusia sama di hadapan Allah kecuali amal dan perbuatannya. <br /><br />"Segala perbedaan harus ditanggalkan dan jangan melahirkan fanatisme berlebihan seperti perbedaan suku, organisasi, partai politik, paham, status sosial, ekonomi atau profesi," katanya. <br /><br />Kedua, jangan pernah berhenti mengamalkan kebajikan dan menegakan kebenaran. Ibadah haji merupakan ibadah bergerak. Para jamaah bergerak dari rumahnya menuju ke asrama haji, ke bandara, ke Mekah, Ke padang Arafah untuk wukuf dan kembali ke tanah air. Dari rangkaian ibadah haji itu, kita bisa memetik pelajaran bahwa setiap muslim harusnya mau bergerak memperbaiki keadaan dan kualitas. <br /><br />Setiap muslim harus bergerak mencari nafkah, bergerak mencari ilmu, bergerak memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, bergerak memberantas kemaksiatan. "Seorang muslim tidak boleh pasif, diam saja menerima kenyataan yang ada, harus bergerak merubah keadaan yang ada," katanya.<br /><br />Terakhir, Janganlah mengkhianati dan menyia-nyiakan ilmu; pergunakanlah untuk kebaikan. Banyak nabi mulia seperti Ibrahim, Musa, Isa Almasih, dan Muhammad SAW, meminta kepada Allah untuk diberikan ilmu dan kebijaksanaan.<br /><br />Sayangnya, saat ini banyak orang memakai ilmu pengetahuannaya untuk mendatangkan dosa, di antaranya korupsi. "Dengan ilmu manusia bisa saja masuk surga dengan selamat dan dengan ilmu juga manusia bisa saja masuk neraka jika ilmunya digunakan untuk hal-hal yang negatif," katanya. <br /><br />Terpisah dalam persepektif berbeda, guru SMU Negeri Bekasi, Muhammad Zaki, mengatakan, hari raya Idul Adha kesempatan kita mengintrospeksi diri dalam hal zakat. "Sejauh mana kita memberi sedekah kepada fakir miskin atau bagi mereka yang tidak mampu," katanya. Karena itu, ada pembagian daging kepada fakir miskin.<br /><br />"Melakukan kebaikan itu tidak harus dari yang besar seperti membangun pesantren atau masjid dulu tapi dari hal yang kecil seperti memberikan sedekah kepada tetangga yang tak mampu," kata Zaki yang juga mengikuti sholat idul adha di tempat yang sama. <br /><br />Seorang pelajar SMK Taman Harapan Bekasi, Rino Jayawiguna, melihat jika Idul Fitri penuh makanan, mulai dari dodol, ketupat lepet, rendang, hingga lontong sayur, maka Idul Adha adalah waktu untuk sate. Hampir tiap orang dapat jatah daging kurban setelah pemotongan hewan kurban.<br /><br />"Kalau Idul Adha pasti bakar sate, tidak pernah tidak," kata Rino. Dia sederhana saja dalam suka-ria merayakan hari besar Islam ini. Karena sudah sangat terlatih, bukan hal sulit bagi mereka menyiapkan sate kambing atau sapi dari daging kurban yang mereka terima.<br /><br />Bersama teman-teman dan tetangga, mereka nyate bareng… <br /><br />Lain lagi bagi seorang buruh pabrik Denso Cikarang, Dedi Nugraha, melihat baik Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan beda mencolok ada pada tukang ojek bernama Ucup. "Biasa aja mas, ‘ngga ada yang spesial. Penumpang makin sepi, hidup makin susah," katanya. <strong>(phs/Ant)</strong></p>