Oleh: B. Rizky Alaikal Ghani
Mahasiswa Manajemen Pemasaran Internasional Semester 2, Politeknik Hasnur.
Di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat Indonesia menghadapi tantangan baru yang mengkhawatirkan meningkatnya intoleransi dan radikalisme di ruang digital. Pengguna media sosial mengkonsumsi komentar kebencian, pelecehan, dan provokasi yang menyinggung suku, agama, ras, atau golongan setiap hari. Pertanyaannya yang muncul adalah bagaimana Pancasila dapat berperan dalam mengatasi masalah intoleransi digital ini?
Ruang digital seharusnya menjadi wadah ekspresi, tetapi kini banyak yang menyalahgunakannya untuk menyebarkan ujaran kebencian dan intoleransi. Banyak konten di media sosial yang menyinggung perbedaan agama, suku, dan pandangan politik tanpa etika dan empati. Fenomena ini jelas bertentangan dengan nilai persatuan dalam sila ketiga Pancasila. Ketika perbedaan dianggap sebagai kekayaan, ruang digital berubah menjadi sumber persatuan. Hal ini menunjukkan lemahnya internalisasi nilai kebangsaan dalam perilaku bermedia.
Masyarakat sering menghadapi kekerasan verbal dan diskriminasi tanpa perlindungan hukum. Laporan Komnas Perempuan memperkuat fakta bahwa kekerasan daring terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam situasi ini, negara dan masyarakat perlu hadir secara aktif, tidak hanya sebagai penonton. Tanpa komitmen bersama, nilai-nilai Pancasila akan terpinggirkan dalam kehidupan digital.
Intoleransi dan radikalisme di dunia digital bukan sekadar masalah teknologi, melainkan menunjukkan adanya krisis nilai dalam kehidupan berbangsa. Pancasila sebagai dasar negara tidak cukup hanya diingat atau dijadikan sebagai simbol upacara. Nilai-nilai Pancasila perlu diterapkan dalam setiap bentuk interaksi, termasuk di ranah digital. Setiap orang memiliki peran penting dalam menciptakan ruang maya yang lebih adil dan penuh toleransi. Tidak harus menunggu peran negara, perubahan dapat dimulai dari bagaimana cara kita menulis dan memberikan komentar.
Pendidikan karakter yang mengacu pada profil pelajar Pancasila menjadi elemen utama dalam literasi digital yang ditanamkan sejak usia dini. Tanggung jawab ini bukan hanya milik sekolah, tetapi juga melibatkan peran keluarga dan komunitas daring. Media sosial sudah seharusnya dipenuhi dengan narasi-narasi positif yang mendukung keberagaman, bukan memperdalam perbedaan. Para kreator konten, mahasiswa, dan generasi muda dapat berperan sebagai perubahan yang menyuarakan nilai-nilai luhur bangsa. Tanpa partisipasi bersama, Pancasila akan kehilangan maknanya di tengah derasnya arus informasi.
Menjaga nilai-nilai Pancasila bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Intoleransi tidak boleh dipandang sebagai hal yang lumrah, apalagi jika dibiarkan berkembang di ruang digital. Setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan ekosistem digital yang sehat, adil, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka generasi mendatang hanya akan mengenal Pancasila sebagai tulisan, bukan sebagai panutan. Mari ambil bagian dalam perubahan, dimulai dari perilaku kita di dunia maya.
Daftar Pustaka
- Komnas Perempuan. (2024). Catatan Tahunan Kekerasan Berbasis Gender Online di Indonesia
- Pranata, B. (2023). Digital Democracy and Echo Chambers in Indonesia’s Youth
- SETARA Institute. (2025). Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
- Siregar, T. & Handayani, L. (2022). Literasi Digital dan Internalisasi Nilai Pancasila
Sumber berita: https://www.merahputih.com/post/read/wagub-rano-sebut-penyebar-paham-radikalisme-hingga-intoleransi-ialah-tantangan-pancasila-di-era-digitalisas














