Kebijakan pemerintah terkait harga daging sapi Rp 80 ribu/Kg, bisa mematikan 5,3 juta peternak di Indonesia. Sementara, harga pakan untuk per Kg daging sapi sudah mencapai Rp 45-an ribu. Ole karena itu, jika kebijakan itu dipaksakan, berarti pemerintah memaksa peternak untuk mensubsidi orang kaya. <p>Hal tersebut ditegaskan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan dalam diskusi dialektika demokrasi denga thema “Monopoli dan Stabilitas Harga Menjelang Ramadhan 1437 H” bersama Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati dan Pengamat Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy di Media Center Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2016).<br /><br />“Harga Rp 80 ribu/Kg itu kalau daging beku dan tak mungkin laku di pasaran. Padahal, anggaran swasembada sapi mencapai Rp 210 triliun. Jadi, kalau kebijakan itu dipaksakan peternak akan rugi Rp 70 ribu/Kg. Jadi, sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan lintas menteri khusus untuk pangan ini,” tegas politisi PKB itu.<br /><br />Oleh karena itu, kata Daniel, jangan selalu menyebut mafia-kartel, kalau pemerintah terbukti tidak bisa mengendalikan harga. Padahal, pemerintah bisa membuat kebijakan dengan harga tertinggi di pasaran, dan siapa yang melanggar ketentuan itu bisa dijatuhi sanksi. Misalnya dilarang berjualan selama satu bulan dan sebagainya.<br /><br />Hanya saja data jumlah kebutuhan daging dan impor sapi itu sendiri berbeda antar institusi pemerintah. Baik BPS, Bulog, dan Kementerian Pertanian. Karena itu perlu dibentuk Badan Pangan Nasional (BPN), dan Badan Urusan Logistik (Bulog) adalah paling tepat, karena sudah ada perwakilannya di seluruh Indonesia. “Jadi, Bulog harus menjadi stabilisator harga pangan di Indonesia,” pungkasnya.<br /><br />Menurut Enny Sri Hartati, masalah pangan itu tak sekedar harga murah, tapi juga ketersediaan, dan tak boleh tergantung kepada negara lain. Kecuali hanya satu dua komoditas pangan saja. “Pada prinsipnya ketergantungan (impor) pangan itu tak boleh lebih dari 50%,” tandasnya. <br /><br />Kalau mahalnya daging itu terkait pakan yang mahal kata Enny, kenapa pemerintah tidak serius menangani industri pakan ternak, yang selama ini hanya dimonopoli oleh lima kartel industri. “Yang pasti sejak 2015, harga daging itu tetap naik, dan terus naik. Maka pemerintah harus ada koreksi atas komoditas daging untuk rakyat ini. Bahwa harga itu tergantung suplai, dan di suplai inilah ada peluang untuk permainan harga,” jelas Enny.<br /><br />Persoalannya mengapa hal itu dibiarkan? Gula misalnya kini naik Rp 5.000,-, Padahal, gula termasuk pangan yang bertahan lama. Telor naik Rp 4.000,- dan sebagainya. “Artinya pemerintah tidak mengantisipasi masalah yang terjadi setiap tahun ini,” tutur Enny lagi.<br /><br />Sementara itu, Ichsanuddin Noorsy menyayangkan data yang berbeda dari ketiga institusi pemeirntah (BPS, Kementerian Pertanian, dan Bulog) tersebut. Sehingga hal itu akan terus menjadi permainan kelima kartel tersebut, dan kuncinya, hanya satu, yaitu menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga pangan.<br /><br />“Saya sejak tahun 2003 sudah mendesak agar pemerintah menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga, berikut industry produksi pangan, badan pangan, dan pasar. Jadi, kalau Wantimpres rapat dan memutuskan harga daging sapi Rp 80 ribu/Kg, maka satu-satunya jalan adalah impor, karena pemerintah tidak punya kebijakan yang antisipatif,” tambahnya.<br /><br />Dengan demikian kata Ichsanuddin, kalau masalah yang sama ini selalu gagal berulang-ulang, berarti ada birokrasi, pengusaha (kartel), dan parpol yang selalu bermain. “Masalah ini kan terjadi setiap tahun, kalau tidak mampu diselesaikan berarti ada permainan,” katanya<br /><br />Selain itu selama nilai tukar rupiah lemah, maka selama itu pula menurut Ichsanuddin, negara ini tak bisa melakukan stabilitas harga. Yang terjadi adalah pemiskinan struktural, karena kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan secara strukutural. “Jadi jangan teriak-teriak Trisakti dan Nawacita semu, selama negara ini pangan dan nilai tukar uangnya masih dipermainkan negara lain. Padahal Bank Indonesia (BI) itu tugasnya untuk mengantisipasi inflasi dan menstabilkan nilai rupiah. Kalau gagal, maka negara ini akan terus berhadapan dengan gejolak harga,” ungkapnya.<br /><br />Sementara kebijakan pemerintah yang salah kata Ichsanuddin, akan melahirkan kemiskinan dan kejahatan. “Politik boleh berganti, tapi pengusaha, dan bandar tidak berubah, maka pemerintah akan terus dikendalikan oleh bandar. Jadi, selama 15 tahun paska reformasi ini Indonesia tidak pernah mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan serta target pertumbuhan ekonomi selalu gagal,” pungkasnya. (sc), foto : andri/hr.</p> <p> </p> <p style="text-align: justify;">Sumber: http://www.dpr.go.id</p>