Pagi itu, silang Monumen Nasional dan Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, lenggang, tidak ada kendaraan berlalu-lalang lantaran polisi mengalihkan arus jalan tersebut. Beberapa personil TNI dari berbagai kesatuan juga menjagai kawasan di mana Istana Merdeka –simbol kepemimpinan negara– berada. <p style="text-align: justify;">Kondisi cukup istimewa ini terjadi karena pada Rabu, menjadi hari ke-17 pada Agustus. Hari itu adalah hari keramat Indonesia, hari dimana Indonesia merebut kemerdekaannya dari seluruh penjajahan yang pernah menguasai bumi Nusantara ini selama lebih dari 350 tahun. Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara menjadi tuan rumah pesta kenegaraan bernama upacara peringatan detik-detik kemerdekaan Indonesia, dan negara ini telah berusia 66 tahun.<br /><br />Istana Merdeka bersolek sedemikian rupa dengan dominasi bendera merah-putih atau umbul-umbul dan rangkaian bunga dengan nada warna dan komposisi serupa. Presiden Susilo B Yudhoyono memimpin upacara dengan puncak prosesi pengibaran duplikat Sang Dwi Warna di tiang 17 di tepi kolam besar di dalam kompleks istana itu.<br /><br />Kelompok delapan, 17, dan 45 dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka tingkat nasional juga sudah bersiap di daerah persiapan. Pada saat sebelumnya, kompi-kompi upacara dari berbagai unsur TNI dan Kepolisian Indonesia juga sudah berdiri rapi dengan senjata masing-masing di lokal-lokal pasukan upacara itu.<br /><br />Di seberang istana bekas rumah dinas gubernur jenderal kolonialis Belanda itu, upacara kenegaraan juga bisa disaksikan masyarakat umum yang datang berbondong-bondong. Intinya, dari luar pagar istana siapa saja boleh datang tanpa membawa undangan khusus melihat dari dekat upacara itu, namun tetap ada "aturan main" yang harus dipatuhi dari sisi pengamanan, protokoler, dan lain sebagainya.<br /><br />Pihak istana juga menyediakan lokal khusus bagi warga yang datang ke sana dengan keperluan itu. Alhasil, banyak rakyat kebanyakan alias bukan orang penting, yang memenuhi lokal itu secara cukup tertib. Bukankah Indonesia tersusun sangat jauh lebih banyak dari rakyat seperti itu, yang menjadi sangat penting pada saat pemilu atau pilkada?<br /><br />Ada beberapa hal yang banyak dilewatkan orang pada upacara sejenis. Di antaranya adalah Reza Saputro (19), seorang pegawai kontrak Dinas Kebersihan Umum DKI, yang sudah beberapa kali "terlibat" dalam persiapan upacara seperti itu. Dia memang tukang sapu yang wilayah tugasnya di seputaran Medan Merdeka sampai kawasan Dukuh Atas itu.<br /><br />"Indonesia sudah merdeka, tapi belum merdeka 100 persen," katanya dengan wajah bercucuran keringat, berseragam putih yang dipenuhi debu dengan sapu lidi panjang yang disandarkan di pundaknya. Saat pembicaraan dengan antaranews ini terjadi, upacara yang dipimpin Presiden Yudhoyono masih jauh dari dimulai.<br /><br />Menurut Reza yang setiap hari harus membersihkan jalur tugasnya dari pukul 02.00 – 09.00 WIB, kemerdekaan itu adalah keadaan seseorang sudah tidak lagi merasakan kesusahan dan kemiskinan. Jelas tidak fasih dia dengan angka-angka statistik data capaian pembangunan versi pihak mana saja, namun faktanya masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan menganggur.<br /><br />"Di sekitar rumah saya saja di Pondok Gede, Bekasi, masih banyak teman-teman yang ‘nganggur. Ini saja pekerjaan membersihkan jalan, jika bolos sehari langsung dipecat," katanya.<br /><br />Teman satu profesinya, Ahmad Syafrudin (20) yang juga menyapu jalan di depan istana sebelum upacara itu, enggan mengomentari sejauh mana makna kemerdekaan Indonesia kali ini. Tentu saja dari perspektif dia sebagai orang yang jauh dari kilau dan hingar-bingar kekuasaan dan kekayaan.<br /><br />"Saya capek Mas dengerin itu semua. Dari Century, Gayus sampai Nazaruddin, gak ada yang genah hasilnya. Terus, bagaimana dengan nasib orang-orang miskin yang tinggal di pinggir rel dan perkampungan kumuh seperti Kampung Laler di Kemayoran," katanya yang tinggal di Kemayoran, Jakarta.<br /><br />Kampung dimaksud adalah satu kawasan kumuh di Kemayoran yang karena pernah begitu kumuh sehingga banyak dihinggapi lalat.<br /><br />"Mendingan kita kerja keras, urus diri kita masing-masing," katanya pria asli Betawi itu menyikapi kemerdekaan Indonesia kali ini. Kalau boleh meminjam bahasa keren, bisalah pernyataan dia ini bentuk apatisme dan skeptisisme dari kalangan akar rumput.<br /><br />Dia lebih suka membahas keramaian perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia di kampungnya itu, yang menghadirkan berbagai kesenian khas Betawi dan perlombaan untuk bocah-bocah.<br /><br />"Puasa-puasa gini, banyak tuh perlombaan untuk bocah! Anak-anak di kampung pada ikut lomba balap karung hingga makan kerupuk. Setahun sekali, kapan lagi," katanya tertawa, tetap dengan dialek Betawi-nya.<br /><br />Syarifuddin bisa saja keliru karena jangkauan wawasannya dengan berkata, "Saya belum melihat pemimpin negara atau daerah menginspeksi perumahan-perumahan kumuh dan berinteraksi langsung keadaan mereka.Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat seperti Raskin (Beras Miskin) salah satunya dan membuat lapangan kerja sebanyak-banyaknya."<br /><br />Ada lagi Dedy Putro (31), seorang pedagang asongan yang menjual aksesoris HUT Kemerdekaan Indonesia, di antaranya gantungan kunci berlogo Garuda Indonesia, pin merah putih hingga pemantik api berlogo Garuda Indonesia di pelataran depan Istana Merdeka, yang mengarah sisi timur atau ke Gedung Mahkamah Agung.<br /><br />Dia tidaklah sendiri, dia ditemani tujuh pedagang asongan lainnya yang berjualan di tempat sama. Di mana ada keramaian, di situ niscaya ada pedagang asongan yang mencoba mendulang sedikit rupiah.<br /><br />Lelaki yang berasal dari Padang dan sekarang tinggal di Pondok Gede, Bekasi, mengatakan perjuangan kemerdekaan jaman sekarang berbeda dengan perjuangan kemerdekaan pada jaman dulu.<br /><br />"Jika dulu kita harus mengangkat senjata, kalau sekarang harus mengangkat tikar dan tas," katanya tertawa-tawa. Ringan sekali tawa itu sembari tangannya merujuk pada alas tikar yang digunakan memajang semua aksesoris dan satu tas besar, wadah membawa semua aksesoris tersebut.<br /><br />Kali ini yang dia bahas adalah penegakan hukum di Tanah Air. Mungkin kedengarannya klise dan sudah basi, tapi komentarnya adalah tentang maling ayam yang dihukum lima tahun tapi koruptor kakap hanya dihukum dua tahun.<br /><br />Ada yang sama, yaitu tentang Nazaruddin. "Saya bingung bang, Nazaruddin kan ketangkep tapi Pak Anas mau pergi umroh, bukannya itu aneh, satu masuk, satu pergi," kata lelaki, yang mengaku mengikuti berita-berita kasus itu dari koran-koran.<br /><br />Karena dia adalah pedagang asongan, dia meminta Pemerintah Provinsi DKI menyediakan lahan khusus bagi pedagang kaki lima karena lahan berjualan PKL sangat terbatas di Jakarta terutama di titik-titik strategis. "Anehnya, pemerintah DKI lebih mengijinkan pendirian mall dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Khan kita-kita tersingkir terus, digusur di sana, digusur di situ. Terus, harus di mana?," katanya.<br /><br />Tidak ada yang salah dengan berjualan seperti yang dia lakukan. Benar saja, baru beberapa menit dia menggelar dagangannya, seorang petugas dari satu instansi militer menghampiri dia dan "meminta" agar dia mengemas dagangannya alias harus meninggalkan kawasan Ring I itu. Dedy Putro dan teman-temannya menurut…<br /><br />Layaknya manusia hidup maka pasti dia perlu makan. Masalahnya, bagaimana kalau harga bahan pangan itu naik terus sementara penghasilan pas-pasan? Apalagi sebentar lagi Lebaran dan "sudah tradisi", saban Lebaran harga barang-barang keperluan naik dan… tidak turun lagi ke posisi semula.<br /><br />Nurlaela yang tinggal di Petojo, Jakarta sedikit mengomentari tentang HUT Kemerdekaan RI, Dia mengharapkan Indonesia semoga makin benar, harga kebutuhan bahan pokok tidak melambung tinggi seperti naiknya harga cabe beberapa hari lalu.<br /><br />"Ya mudah-mudahan mendekati lebaran harga bahan pokok tidak naik," kata Nurlaela (32), seorang ibu rumah tangga yang juga ditemui di jalan-jalan di sekitar kompleks Istana Merdeka, menjelang upacara kemerdekaan Indonesia itu. Dia juga menggendong anaknya, Iqbal yang baru berusia lima tahun.<br /> <br />Sebagai ibu rumah tangga yang secara tradisional di Indonesia berkewajiban menyiapkan keperluan makanan bagi keluarganya, dia bisa panik kalau harga bahan pangan dan bumbu-bumbu naik. "Waaahh… waktu cabe sampe hampir Rp100.000 sekilo itu, Bang. Ampun deh, pusiiiing…. Lha khan katanya kita ini negara pertanian, kok bisa begitu?," katanya.<br /><br />Dalam pemahaman dia, ada dugaan bahwa pelonjakan harga bahan pangan dan banyak lagi yang lain-lain itu disebabkan kerakusan spekulan. Masih ada lagi "sumbangan" dari pengutamaan ekspor karena untungnya lebih banyak; sehingga orang Indonesia mendapat barang-barang cuma kelas dua saja. <strong>(sumber :Ant)</strong></p>