Kepala Kampung Sebagai Agen Penyelamatan Lingkungan

oleh
oleh

Tugas menjaga lingkungan hidup tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Hal itu harus dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah. Apabila dilakukan secara sendiri-sendiri maka hasilnya tidak akan maksimal. <p style="text-align: justify;">Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan hal tersebut dalam acara Governor Climate and Forest Meeting (GCF). Ia mencontohkan peran Imoem Mukim—atau lazim dikenal sebagai kepala kampong dan pondok pesantren. Peran mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. Soalnya, mereka adalah stakeholder atau institutional terdepan yang langsung bersentuhan dengan hutan.<br /><br />“Peran kepala Imoem Kampung sangat besar dalam mengelola hutan dan lingkungan, “ buka Gusti Muhammad Hatta dalam acara tersebut, di Hotel Nanggroe Aceh, di Banda Aceh, kemarin (20/08/2011)<br /> <br />Dilanjutkan Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat  (Unlam) itu, saat ini, kerusakan hutan yang ada di Indonesia terbilang cukup cepat. Karena itu, diperlukan perhatian khusus dari masyarakat. Salah satunya dari Imoem Kampung. Harapannya, sebagai orang paling disegani dalam sebuah kampong, mereka dapat memberikan contoh serta nasehat tentang bahayanya bila hutan dirusak secara sembarangan.<br /><br />Gusti Muhammad Hatta mencontohkan, kerusakan lapisan ozon disebabkan adanya Gas Rumah Kaca (GRK). GRK muncul lantaran makin tingginya angka pencemaran karbondioksida.  Hutan yang terdiri pohon-pohon dan isinya tidak dapat menyerap karbondioksida lantaran banyak yang ditebangi. Akibatnya bisa ditebak. “Munculnya sejumlah penyakit baru, kanker kulit, virus baru, dan lainnya.” <br /><br />Padahal, lanjut Gusti Muhammad Hatta, hutan adalah sebagai penyangga kehidupan. Hutan memberikan segudang manfaat bagi kehidupan manusia. Seperti menyediakan air, buah-buahan, bahkan obat-obatan. <br /><br />Hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change-IPC yang diselenggarakan pada tahun 2007, dikatakan, sejak tahun 1850, tercatat 12 tahun terpanas terjadi pada kurun tahun waktu 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari periode 1850-1899 hingga 2001-2005 adalah 0.76 derajat Celcius. Permukaaan air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0.17 meter. <br /><br />Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf yang hadir pada acara itu mengakui, kerusakan hutan di daerah diantaranya yakni disebabkan nakalnya para pemilik izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). “Para pemilik HPH bila sudah menggarap hutan, maka mereka akan pindah ke lahan. Sedangkan lahan yang sudah digarap tidak ditanami lagi. Kerusakan hutan di Aceh bukan karena illegal lodging justeru sebaliknya karena legal lodging, ”tegasnya.<br /><br />Karena itulah, dirinya berani mengeluarkan kebijakan Morotarium Lodging. Meskipun, payung hukum untuk kebijakan tersebut belum ada. Langkah itu ia ambil untuk menyelamatkan hutan, lingkungan, dan masyarakat Aceh. “Mereka (pemilik HPH) tak ubahnya seperti predator. Makanya dibutuhkan terminator (kebijakan penghentian).”<br /><br />GCF adalah kolaborasi sub nasional unik antara 15 negara bagian dan provinsi dari Amerika Serikat, Brazil, Indonesia, dan Meksiko yang memiliki lebih dari 20 persen hutan tropis di dunia (yang merepresentasikan 75 persen hutan tropis Brazil, dan lebih dari setengah hutan tropis Indonesia). <br /><br />Pada tahun 2010, Kalimantan Tengah dan Chiapas menjadi anggota CGF ke 14 dan 15 (berlaku 1 Januari 2011). Diluncurkan oleh mantan Gubernur California Arnold Schwarzenegger dan delapan (8) gubernur lainnya dari Amerika Serikat, Brazil, dan Indonesia pada bulan November 2008. GCF membangun flat form guna mensinkronisasi upaya antar yurisdiksi hutan tropis untuk mengembangkan kebijakan dan program-program yang dapat memberikan jalan yang realistis menuju pembangunan wilayah pedesaan yang sekaligus melestarikan hutan. <br /><br /><br /><strong>Safari Ramadhan di Ponpes</strong><br /><br />Selama dua hari melakukan kunjungan safari ramadhan ke negeri Serambi Mekah—nama lain Aceh, Gusti Muhammad Hatta juga mengunjungi pondok pesantren Ruhul fatayah di Seulimeun, Aceh Besar. Di pesantren itu, ia meresmikan program Eco Pesantren. <br /><br />Kementerian Lingkungan Hidup telah mencanangkan Program Eco-Pesantren pada tanggal 5 Maret 2008 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Program ini merupakan salah satu tindak lanjut dari kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Departemen Agama.  Program Eco-Pesantren merupakan program strategis KLH yang akan mendorong peningkatan pengetahuan, kepedulian, kesadaran dan peran serta aktif warga pondok pesantren terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup berdasarkan ajaran agama Islam. Program ini diharapkan akan menjadi program bersama yang aplikatif dan kegiatan aksi nyata dalam mengatasi permasalahan lingkungan melalui jalur agama. Melalui program Eco-Pesantren ini juga diharapkan akan dapat membuka peluang untuk saling bersinergi antar berbagai pemangku kepentingan untuk menyelamatkan bumi. <br /><br /> “Para ulama dan santri harus dapat mengambil peran sebagai penyelamat lingkungan. Karena alim ulama di Aceh sangat disegani. Dan pengaruh itu harus benar-benar digunakan untuk penyelamatan lingkungan. Kami harapkan agar seluruh warga pondok pesantren dapat terus menjaga komitmen dalam melaksanakan upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan dengan mengajak warga atau pondok pesantren sekitar ,” kata Gusti Muhammad Hatta dalam sambutannya.<em><strong>(Press Release KLH)</strong></em></p>