JAKARTA, KN – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Medan Area, Prodi Ilmu Komunikasi menggelar seminar online bertajuk “Semiloka Rekontruksi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka,” Selasa (2/3/2021).
Hadir sebagai narasumber, Drs. Firdaus, M.Si (Ketua Umum SMSI), Hermansyah, SE (Ketua SMSI Sumut), Drs. H. Sofyan Harahap (Wakil Penanggung Jawab Harian Waspada), Jimmi A.A., S.Ps. CHRP, CHRM (Manager Komunikasi PT. PLN Persero, UIW Sumatera Utara), Syaiful Anwar Lubis (Ketua IJTI Sumut dan Praktisi Jurnalis Televisi), Fakhrur Rozi (Dewan Redaksi Kaldera.id/Dosen UINSU), Aldi Wilman, ST (Manager Kadiv & Public Relatioan Regional 1), Saurma MGP Siahaan, MIPR (Ketua BPC Perhumasan Meda), Chandi Mohammad, SE (Youtuber), Tulangtio, SE (Alumni Influencer Conten Creator, Penyanyi) dan selaku moderator, Dr. Dedy Sahputra, MA.
Dalam paparanya Ketua Umum SMSI, Firdaus yang membawakan materi tentang Publisitas di Era Digital menerangkan bahwa, publisitas adalah segala kegiatan yang dilakukan untuk mengenalkan perusahaan dan atau produk kepada masyarakat melalui media massa.
“Publisitas merupakan penyebaran pesan secara terencana dengan menggunakan media tertentu, guna mencapai kepentingan organisasi tanpa melakukan pembayaran pada media,” ujar Firdaus.
Dalam melaksanakan publisitas, lanjut Firdaus, melakukan sejumlah usaha komunikasi untuk menjalin relasi yang baik sehingga tercapai tujuan membangun, membina dan menjaga citra atau reputasi institusi secara positif.
“Reputasi institusi ini merupakan suatu aset yang sangat berharga secara komersial dan terganggunya reputasi dapat mengikis keandalan bisnis dalam memaksimalkan shareholder value, finance, independency dan market share (Larkin, 2003),” jelasnya.
Lebih jauh diungkapkan Firdaus, dimata jurnalis, publisitas adalah informasi yang disediakan oleh sumber luar yang digunakan oleh media karena informasi itu memiliki nilai berita.
“Public relations tidak dapat mengontrol atau menentukan apakah berita dimuat atau tidak,” tandas Firdaus.
Kegiatan publisitas sendiri menurut Firdaus meliputi, penulisan Press Release (teks, audio, video), Konferensi Pers, Press Tours, Press Party, Press Receptions, Media Gathering, dan wawancara khusus.
Masih bicara tentang publisitas, Cyber Public Relations inisiatif public relations yang menggunakan media internet sebagai sarana publisitas melalui publikasi online, media sosial, dan komunitas online.
“E PR harus mampu mengembangkan konten untuk format distribusi media cetak, radio, TV, situs web, e-mail, iTV, PDA, WAP, Usenet, media sosial agar dapat dengan tepat menjangkau berbagai macam audiens,” ucap Firdaus.
Ditambahkan Firdaus, Kekuatan Cyber PR antar lain, Convergence (memusat/integrasi), Reach (jangkauan), Ease of Use (mudah digunakan), Speed(kecepatan), Real time (seketika), Compression and Streaming dan, (pemampatan dan mengalir).
Sedangkan fungsi media sosial bagi organisasi dan publiknya adalah mempertahankan identitas organisasi, membangun hubungan, kemampuan untuk mengontrol manajemen isu, mempromosikan Corporate Social Responsibility (Amy Reitz, 2012).
Lalu strategi cyber PR melalui penyebaran informasi melalui public relations news dan public relations web, penyebaran informasi dalam Executive summary, melalui metode email, slide share, scribd, social media, penyebaran informasi dalam Flickr Graphs, menggunakan media picasa dan media sosial, penyebaran informasi dalam blog snippets melalui social media, penyebaran informasi dalam events-events, Pembuatan video yang diunggah di youtube, social media, e-mail, penyebaran informasi dalam bentuk audio melalui i-tunes, penyebaran informasi dalam slides yang bisa disebarkan melalui e-mail, slide shares, scribd, dan social media. (Dewi Kusumawardani, Quani, 2016)
“Tujuan utama publisitas adalah bagaimana media memberitakan perusahaan atau institusi sesuai dengan tujuan yang diinginkan, reputasi meningkat dan dukungan stakeholder menguat secara berkelanjutan,” pungkas Firdaus diakhir paparanya.
Seminar Online Univeritas Medan Area, Ketum SMSI Bicara Jurnalistik Digital dan Masa Depan Media
Masih dalam seminar online yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Medan Area, Prodi Ilmu Komunikasi dengan tajuk tajuk “Semiloka Rekontruksi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka,” Selasa (2/3/2021), Ketua Umum SMSI Pusat, Firdaus, memberikan paparan tentang dasar- dasar jurnalistik di era digital.
Turut hadir juga sebagai narasumber, Hermansyah, SE (Ketua SMSI Sumut), Drs. H. Sofyan Harahap (Wakil Penanggung Jawab Harian Waspada), Jimmi A.A., S.Ps. CHRP, CHRM (Manager Komunikasi PT. PLN Persero, UIW Sumatera Utara), Syaiful Anwar Lubis (Ketua IJTI Sumut dan Praktisi Jurnalis Televisi), Fakhrur Rozi (Dewan Redaksi Kaldera.id/Dosen UINSU), Aldi Wilman, ST (Manager Kadiv & Public Relatioan Regional 1), Saurma MGP Siahaan, MIPR (Ketua BPC Perhumasan Meda), Chandi Mohammad, SE (Youtuber), Tulangtio, SE (Alumni Influencer Conten Creator, Penyanyi) dan Dr. Dedy Sahputra, MA yang bertindak sebagai moderator.
Diawal bicara mengenai dasar jurnalistik di era digital, saat ini menurut Firdaus, ada beberapa masalah yang dialami media diantaranya, mencari model media, meningkatkan kepercayaan pembaca, membangun iklim bisnis, bersaing dengan media sosial yang banyak menarik minat para pengguna internet untuk segementasi hiburan dan praktik media terus berubah akibat disrubsi digital.
Saat ini lanjut Firdaus, media baru telah mengubah jurnalisme dalam empat cara, pertama, sifat konten berita berubah akibat dari munculnya teknologi media baru yaitu, konten interaktif, realtime, kedua, cara wartawan melakukan pekerjaannya berbasiskan digital dan multimedia, multiplatform, ketiga struktur ruang redaksi dan industri berita sedang mengalami transformasi mendasar, keempat, media baru membentuk kembali bagaimana hubungan antara unsur di dalam organisasi berita yaitu jurnalis, dan audiens termasuk narasumber, pesaing, pengiklan, dan pemerintah.
“Contoh, audien tidak hanya hanya sebagai penerima berita, tapi juga pemasok berita.(Jhon P Pavlik, 2001),” ujar Firdaus.
Selain itu, di era digital, diungkapkan Firdaus, telah muncul karakter baru media digital.
“Teori gatekeeping, yang menjelaskan berita diseleksi dan ditentukan tim redaksi sebelum berita ditayangkan, tidak berlaku dalam media digital. Dan berubah menjadi gatekeeping digital, online, virtual, karena interaktivitas audiens membuat audien berpartisipasi sebagai penjaga gerbang sekunder di Internet. Media digital dan media sosial memungkinkan audiens untuk berpartisipasi dalam dialog, berinteraksi langsung dengan bisnis, institusi, dan pembuat berita. (Shoemaker & Vos, 2009),” papar Firdaus.
Ditambahkan Firdaus, dalam menulis judul di media digital ditentukan oleh Google dengan sistem clicbait yaitu istilah untuk judul berita yang dibuat untuk menggoda pembaca yaitu menggunakan bahasa yang provokatif dan menarik perhatian.
“Karena judul adalah elemen yang paling pertama dibaca netizen di hasil pencarian, maka dengan mengoptimasi judul jumlah klik bisa bertambah. klik tidak melalui konten berkualitas, melalui tajuk utama halaman depan yang menarik, provokatif, dan sensasional yang bertujuan mengeksploitasi keingintahuan pengguna,” tandas Firdaus.
Lebih jauh diterangkan Firdaus, di era digital, jurnalis menggunakan media sosial sebagai alat pengumpul informasi, memeriksa berita media lain, mendapatkan berita terkini, mewawancari narasumber, memvalidasi informasi, dan menyebarkan pemberitaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Trending topics media sosial dapat memiliki pengaruh signifikan dalam memproduksi informasi yang mempengaruhi agenda publik. Media menggunakannya, agar tidak tertinggal informasi yang sedang diperbincangan para nitizen,” tutur Firdaus.
Media, sambung Firdaus, menjadikan media sosial sebagai medium penyebarluasan berita. Karena media sosial dapat memperluas kemampuan berkomunikasi.
“Penyajian berita pada media sosial tersebut dilakukan dalam format foto, infografis, video pendek berdurasi satu sampai enam menit, videografis, dan live streaming,” urai Firdaus.
Masih dalam paparanya, owner Teras Grup ini juga menjelaskan berbagai bentuk berita diantaranya, Hard news yang memiliki daya tarik tinggi bagi pembaca karena sifatnya informatif, aktual, realtime.
Selanjutnya berita opini yang mengulas persoalan secara khusus dengan pendekatan akademik dan jurnalisme sastrawi.
“Berita-berita opini memiliki nilai tersendiri bagi para pembacanya. Berita opini untuk refrensi dalam beberapa kasus, seperti isu lingkungan, hukum, politik, ekonomi dan sosial,” cetus Firdaus.
“Berita investigasi memiliki nilai lebih dalam memberikan kepuasan pembaca, sehingga berita ini akan sangat ekslusif dalam memberikan berita. Tingkat kerumitan dan proses panjang membuat berita ini akan mampu menarik pembaca dari berbagai segementasi pembaca,” imbuh Firdaus.
Sementara itu, bicara perihal masa depan jurnalistik, Firdaus menerangkan, menurut (Burgess & Hurcombe, 2019:365), jurnalisme digital adalah praktik-praktik pengumpulan berita, pelaporan, produksi teks dan komunikasi tambahan yang mencerminkan, merespons, dan membentuk logika sosial, budaya dan ekonomi dari lingkungan media digital yang terus berubah.
Jadi jurnalistik digital tidak hanya memindahkan produk media konvensional ke media digital, tapi juga harus membuat model bisnis.
Firdaus mencontohkan, model bisnis ”The Long Tail” yang dipopulerkan oleh Chris Anderson tahun 2004. Istilah ini mendeskripsikan strategi bisnis pada segment pasar tertentu seperti yang dilakukan oleh Amazon.com atau Netflix, yang menjual sejumlah besar item unik dimana masing-masing memiliki kuantitas yang sedikit ke pangsa pasar yang besar.
Lalu, model bisnis Siberindo.co, media digital yang motori Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menjadi newsroom terbesar di Indonesia merupakan model bisnis media digital yang memproduksi konten dimana konten bisa digunakan anggota SMSI se-Indonesia. Kolaborasi ini berpotensi secara ekonomi, dengan tetap memegang teguh prinsip akuntabilitas penulisan informasi.
Diakhir paparan, Firdaus menyebut, masa depan jurnalistik adalah bagaimana mengkombinasi jurnalisme lama dan baru yaitu fungsi pers sebagai penjaga pintu tak menghilang sepenuhnya, melainkan hanya mengecil dimensinya tentang apa yang mesti disediakan pers.
“Pers harus menampilkan seperangkat fungsi yang lebih kompleks dari sekadar penjaga pintu dan mengadopsi format baru gaya bertutur, penyebaran dan pelibatan public dalam berita. Pers masih menjadi mediator, tetapi dengan peran mediasi yang lebih beragam dan kompleks, dan menjalankannya di dunia komunikasi tanpa batas seperti sekarang akan lebih sulit. (Kovach dan Rosentiels, 2012: 180),” pungkas Firdaus.(*).