Pakar lingkungan dari Universitas Riau, Prof Adnan Kasri, menyatakan, kabut asap dampak dari kebakaran lahan gambut kali ini paling parah sepanjang sejarah. <p style="text-align: justify;"><br />"Sebelumnya di sekitar 1997, kasus kebakaran hebat memang sempat terjadi. Namun masih melanda sebagian besar kawasan hutan alam," kata Kasri, di Pekanbaru, Selasa.</p> <p style="text-align: justify;">Dampak kabut asapnya ketika itu juga tidak separah kali ini, di mana pencemaran udara sudah jauh berada diatas ambang normal.</p> <p style="text-align: justify;">Senin kemarin, catatan Indek Pencemaran Udara di Dumai mencapai angka 900. Kategori sangat mengancam kesehatan manusia ada pada angka 500.</p> <p style="text-align: justify;">Angka inilah, katanya, yang menjadi salah satu indikator menyatakan kebakaran hutan dan lahandi Riau kali ini paling buruk sepanjang sejarah</p> <p style="text-align: justify;">Antara 1990-1997), kata Kasri, kawasan yang terbakar atau dibakar adalah kawasan hutan alam yang memang dahulu masih banyak di provisi ini.</p> <p style="text-align: justify;">"Ketika itu (1997), menjadi puncak kebakaran hebat, luas lahan yang terbakar juga begitu parah. Namun kondisi pencemarannya terhadap udara tidak separah saat ini," katanya.</p> <p style="text-align: justify;">Waktu itu, kata dia, pencemaran udara akibat asap sisa dari kebakaran hutan masih berbentuk partikel-partikel berat atau sejenis abu yang memang hanya mampu mencemari sejumlah kawasan di sekitar hutan yang terbakar karena tidak mampu diterbangkan dengan jangkauan jauh oleh angin.</p> <p style="text-align: justify;">Kebakaran hutan hebat pada 1997, menurut Kasri, juga masih sangat mudah jika dipadamkan, terlebih jika menggunakan peralatan canggih seperti saat ini, karena yang terbakar hanya permukaannya saja.</p> <p style="text-align: justify;">Namun saat ini, kata Adnan, yang namanya hutan di Riau tidak ada lagi. Yang dominan sekarang adalah gambut terbuka tanpa tutupan vegetasi berarti.</p> <p style="text-align: justify;">"Juga tidak akan mudah dipadamkan dengan cara apapun mengingat lahan gambut yang terbakar memiliki kedalaman hingga lima meter," katanya.</p> <p style="text-align: justify;">Upaya "modifikasi cuaca" ini dikabarkan membutuhkan anggaran lebih dari Rp20 miliar. Namun wahana yang dikerahkan sangat terbatas, yaitu hanya satu unit pesawat C-130 Hercules TNI AU, satu unit pesawat NC-212 Cassa, dan beberapa helikopter.</p> <p style="text-align: justify;">Mereka akan menabur garam untuk "mengumpulkan" potensi awan hujan di atas lokasi-lokasi yang terbakar. <strong>(phs/Ant)</strong></p> <p style="text-align: justify;"> </p>