Lukman Hakim: Yogyakarta Tidak Memerlukan Referendum

oleh
oleh

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin berpendapat, Yogyakarta tidak memerlukan referendum karena keinginan masyarakat setempat sudah sangat jelas terkait penentuan gubernurnya. <p style="text-align: justify;">Menurut dia, yang diperlukan hanya sikap bijak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.<br /><br />"Sebenarnya tak lagi diperlukan referendum untuk mengetahui kehendak masyarakat DIY tentang penentuan gubernurnya karena `wis cetho welo-welo`, sudah amat gamblang bahwa mayoritas mereka ingin Sultan ditetapkan sebagai Gubernur," ujar Lukman menjawab pers sesaat sebelum membuka "focus group discussion" mengenai empat pilar kehidupan bernegara di Kampus Undip, Semarang, Kamis (02/12/2010).<br /><br />FGD yang diselenggarakan atas kerja sama MPR dengan Fisip Undip itu, mengangkat tema "Meninjau Ulang Sistem Pemilu Kepala Daerah Langsung Dalam Penguatan Demokrasi dan Otonomi Daerah".<br /><br />Menurut Lukman, selain membuang-buang energi, waktu dan biaya, referendum bisa menjadi preseden yang dapat dibelokkan kemana-mana serta mengancam keutuhan NKRI.<br /><br />Sekali saja satu daerah diperkenankan untuk melakukan referendum tersebut, maka hal tersebut bisa membuka peluang bagi daerah-daerah lainnya menuntut hal yang sama.<br /><br />Karena itu, dia menambahkan, yang diperlukan saat ini terkait persoalan Yogyakarta hanyalah kearifan Presiden Yudhoyono saja dan diharapkan ada kesejukan yang menunjukkan komitmen pemerintah atas keistimewaan DIY itu.<br /><br />Ditegaskan politisi PPP itu bahwa peta di DPR pun sebenarnya sudah sama dengan apa yang diinginkan masyarakat Yogyakarta dan tinggal tersisa Fraksi Partai Demokrat saja yang masih berbeda sikap.<br /><br />"Di DPR semua fraksi sudah jelas sikapnya dan hanya FPD saja yang masih berkeras. Lainnya menyuarakan keinginan yang sama dengan rakyat Yogya, yakni otomatis Sultan menjadi Gubernur setempat," ujarnya.<br /><br />Sementara itu, mengenai topik FGD kali ini, Lukman menjelaskan bahwa implementasi pilkada secara langsung telah dijalankan dalam lima tahun terakhir. Ada banyak respon terkait implementasi itu dan MPR berinisiatif melakukan kajian yang lebih terfokus terkait model berdemokrasi itu bagi perbaikan dimasa mendatang.<br /><br />Dijelaskannya bahwa pilkada langsung ini berangkat dari derivasi bahwa pilpres juga dipilih langsung serta adanya trauma masa lalu dimana pemilihan kepala daerah bersifat elitis dankadangkala tidak bisa dipertanggungjawabkan pula.<br /><br />"Melalui FGD ini MPR berharap bisa dihasilkan satu rumusan yang solutif terkait pertanyaan apakah pemilihan langsung ini msih relevan dilanjutkan atau tidak," ujarnya.<br /><br />Sementara itu, Dekan Fisip Undip Warsito, SU mengatakan bahwa demokrasi bisa dijadikan sebagai alat sekaligus pula tujuan. "Demorasi sangat tergantung ruang dan waktu dalam implementasinya. Demokrasi juga sangat tergantung pada sejarah bangsa dan yang lebih penting lagi juga terkait pada rezim penguasa," katanya.<br /><br />Karena itu, dia berpendapat, evaluasi terhadap implementasi berdemokrasi patut dilakukan secara berkelanjutan. Terkait dengan realitas pelaksanaan pilkada secara langsung, dia menambahkan, ada banyak kekecewaan masyarakat yang belum merasakan manfaatnya sehingga memicu pesimisme dimana-mana.<br /><br />"Bahkan ada yang berkeinginan agar pemilihan kepala daerah sebaiknya dikembalikan saja seperti dimasa lalu," ujarnya seraya mempertanyakan kesiapan parpol melakukan rekrutmen politik yg berkualitas dalam kontestasi di pilkada itu. <strong>(phs/Ant)</strong></p>