Masyarakat Adat Tuntut Ganti Rugi Rp 200 Miliar

oleh
oleh

Masyarakat adat Swapor kabupaten Biak Numfor, Papua mengeluarkan lima pernyataan adat di antaranya menuntut ganti rugi sebesar Rp 200 miliar terkait rekruitmen putera daerah di Bandara Frans Kasiepo yang tak sesuai kesepakatan. <p style="text-align: justify;">Lima pernyataan masyarakat adat Swapor yang diterima ANTARA, Jumat, antara lain mendesak Menteri Perhubungan memanggil direktur umum PT angkasa Pura 1 untuk bertanggung jawab terhadap rekruitmen tenaga Avsec khusus 50 orang putra putri Biak (Swapor) yang tidak sesuai kesepakatan bersama tahun 2009.<br /><br />"Masyarakat adat Swapor tetap mengambil alih bandara dan seluruh asset yang ada di atasnya untuk selanjutnya diserahkan kepada pemkab Biak Numfor untuk dikelola demi kepentingan kesejahteraan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat," ungkap koordinator warga Dance Rumaropen.<br /><br />Dia mengakui, sebelum ada kejelasan tuntutan masalah ganti rugi penyelesaian aset bandara Frans Kaisiepo maka pihak masyarakat adat tetap memblokir kantor PT Angkasa Pura I.<br /><br />Kepada pengguna jasa bandara Biak, menurut warga, diharapkan tetap beraktifitas seperti biasa mengingat tuntutan ganti rugi penguasaan tanah adat ditujukan kepada pengelola bandara PT Angkasa Pura 1.<br /><br />"Masyarakat adat siap melakukan dialog dengan pemkab Biak dan manajemen PT Angkasa Pura 1, namun hingga sekarang belum ada yang mau menemui warga," ungkap Dance.<br /><br />Hingga pukul 16.00 WIT di sepanjang areal kantor PT Angkasa Pura 1 Biak Jalan Mohamad Yamin masih dipalang warga dengan kayu dan berbagai poster bertulisan ganti rugi.<br /><br />Manager PT Angkasa Pura 1 Biak Edward Mirino hingga saat ini belum memberikan keterangan resmi terkait pemblokiran kantor dilakukan warga pemilik hak ulayat terdiri keret Rumaropen, Rumbiak, Ronsumbre, Wakum, Simpoiaref dan Yerangga. <strong>(phs/Ant)</strong></p>