Oleh: Marwandy,S.Psi.,S.H.,M.H
OPINI: Kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, dalam insiden unjuk rasa di Jakarta Pusat pada 28 Agustus lalu telah menimbulkan duka mendalam sekaligus kemarahan publik. Kompol Cosmas Kaju Gae, yang berada dalam kendaraan taktis (rantis) Brimob pada saat kejadian, kini sudah dijatuhi sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Selain itu, ia juga menghadapi proses pidana di Bareskrim Polri.
(https://nasional.kompas.com/read/2025/09/04/07045511/polri-kasus-kompol-cosmas-sudah-dilimpahkan-ke-bareskrim)
*Saya tidak menutup mata:*
setiap nyawa manusia adalah berharga. Namun dalam mencari keadilan, kita harus berhati-hati membedakan antara kesalahan yang disengaja dan kelalaian yang lahir dari situasi kacau di lapangan.
Praduga Tak Bersalah yang Mulai Hilang.
Gelombang opini publik seolah sudah menjatuhkan vonis sebelum sidang pengadilan digelar. Potongan video yang beredar memang memperlihatkan rantis melaju di tengah massa. Namun, video tidak selalu menjawab seluruh konteks. Tekanan, ketegangan, dan situasi chaos harus dipertimbangkan. Apakah benar kendaraan itu melaju dengan niat untuk melukai? Ataukah ini sebuah kelalaian, yang dalam hukum pidana punya konsekuensi berbeda dengan kesengajaan?
*Hukum kita mengatur asas fundamental:* setiap orang berhak dianggap tidak bersalah sebelum pengadilan membuktikan sebaliknya. Sayangnya, asas ini sering tergerus oleh _“trial by social media”_ yang lebih cepat menjatuhkan stigma ketimbang mencari kebenaran.
*Aparat juga Warga Negara.*
Mudah bagi publik untuk melihat aparat sebagai simbol kekuasaan yang “kebal hukum”. Tetapi di balik seragam itu, mereka juga manusia. Kompol Cosmas telah menanggung sanksi etik yang berat—kehilangan status, jabatan, dan masa depan karier. Apakah pantas jika sebelum pengadilan memutus, publik sudah menganggapnya pelaku kejahatan tanpa ruang pembelaan?
Sebagaimana masyarakat sipil, aparat negara pun berhak mendapatkan keadilan yang setara. Kita menuntut profesionalisme dari polisi, tetapi kita juga wajib memastikan sistem hukum memperlakukan mereka secara adil, tidak semata sebagai “tumbal” untuk meredam kemarahan publik.
*Belajar dari Kasus Ini.*
Tentu kita berharap tragedi ini tidak terulang. Itu sebabnya evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengendalian massa menjadi penting. Kendaraan taktis seharusnya menjadi alat perlindungan, bukan sumber korban. Namun evaluasi itu tidak boleh dijadikan dasar untuk meniadakan hak individu aparat dalam membela diri di hadapan hukum.
*Penutup.*
Saya mengajak publik untuk tidak menutup mata pada sisi manusiawi dari aparat yang kini akan duduk di kursi terdakwa. Menuntut keadilan bagi almarhum Affan adalah hal yang benar, tetapi menjatuhkan vonis sepihak kepada Kompol Cosmas tanpa menunggu putusan pengadilan adalah hal yang keliru.
Keadilan yang sejati hanya akan lahir bila kedua belah pihak—korban maupun terlapor—mendapatkan hak yang sama di depan hukum.













