Musyawarah besar para tokoh Suku Dayak di pedalaman Kalimantan Timur dan Utara yang digelar di Kabupaten Kutai Timur, tidak sekadar untuk revitalisasi adat serumpun, tetapi juga membahas berbagai perkembangan isu nasional dan daerah terkini. <p style="text-align: justify;">Kepala Adat Wehea Kutai Timur, Ledjie Tag, ketika dihubungi Antara dari Balikpapan, Senin, mengemukakan berbagai isu mutakhir yang dibahas, antara lain masalah ekonomi, perubahan cara hidup hingga perubahan bentang alam, serta alih fungsi lahan dan hutan.<br /><br />"Di sekitar kami saja dulu hutan, tapi sekarang banyak dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Kondisi itu membawa perubahan yang signifikan terhadap masyarakat adat," katanya.<br /><br />Musyawarah Besar Dayak Serumpun Kung Kemul digelar sejak Sabtu (13/6) hingga Kamis (18/6) di Kampung Orang Wehea di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.<br /><br />"Kami semua dari Rumpun Kung Kemul, yaitu Orang Wehea, Ga’ai, Punan, Kelay, Long Way di Gunung Modang, Long Gelat, Long Blah, Leboq, Basap, Bahau, dan Kayan. Semua berkumpul," papar Ledjie Tag, tokoh Dayak yang pernah menerima Kalpataru pada 2009.<br /><br />Kung Kemul adalah nama gunung yang ada di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Konon, ratusan tahun lalu, gunung itu menjadi tempat berlindung para penduduk pedalaman Kalimantan dari peperangan yang terjadi antarmereka sendiri.<br /><br />Ketika perang berakhir, dalam perjalanan turun gunung, mereka terpencar-pencar dan kemudian menjadi sub-sub suku sendiri.<br /><br />Saat ini, para tetua Rumpun Kung Kemul dari pedalaman Kaltim dan Kaltara berdatangan ke Desa Nehas Liah Bing untuk menghadiri musyawarah besar tersebut.<br /><br />Menurut Ledjie Taq, pertemuan atau musyawarah besar para tetua adat ini untuk merevitalisasi adat serumpun, selain juga untuk membahas perkembangan isu-isu terkini.<br /><br />Salah satu hal yang menguat dari pertemuan ini adalah mempererat persatuan dan kesatuan RUmpun Kung Kemul untuk pemberdayaan komunitas, terus memperjuangkan hak masyarakat lokal dan mempertahankan kearifan tradisional dengan melestarikan lingkungan hidup dan adat serta budaya.<br /><br />"Sambil membuka cakrawala pandang dan meluaskan wawasan," tambah Ledjie Taq.<br /><br />Selain musyawarah dan rapat-rapat, tambahnya, pertemuan ini juga menjadi ajang pentas budaya, karena setiap rumpun menampilkan seni budayanya, mulai tari-tarian, pakaian adat hingga makanan.<br /><br />Saat acara pembukaan pada Sabtu (13/6), ditampilkan Tarian Tumbambataq yakni tarian pergaulan dan selamat datang, kemudian Tarian Hudoq yaitu tarian tentang roh-roh penjaga hutan dan mata air dan perikehidupan menusia alam.<br /><br />"Ada juga agenda seminar hukum adat dalam perspektif hukum nasional, pembelajaran pengelolaan hutan lindung Wehea dan diskusi tentang masyarakat adat," jelas Ketua Panitia Musyawarah, Lung Eng. (das/ant)</p>