Ketua Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning menyatakan bahwa saat ini orientasi kesehatan sudah bergeser dari sosial menjadi komersial. Hal tersebut akibat pengaruh kapitalisme dan neoliberalisme. <p>“Tadinya kesehatan orientasinya sosial, tetapi karena pengaruh kapitalisme dan neoliberalisme sudah bergeser menjadi komersial. Itu yang harus kita urai sebetulnya,” tegas Ribka saat Rapat Dengar Pendapat dengan Wakil Menteri Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial, LPSK dan KKI, di Gedung Nusantara I DPR RI, Rabu (4/12)<br /><br />Sehingga dokter, kata Ribka, mau tidak mau berhubungan dengan industri farmasi, teknologi kesehatan yang demikian mahalnya. Seorang dokter dipaksakan untuk mau tidak mau nilai pengabdiannya mulai bergeser.<br />“Dokter mau tidak mau, sudah tidak jujur dengan sumpah dokternya,” imbuhnya.<br /><br />Rapat yang membahas mengenai proses hukum dugaan malpraktek di RSUD Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Ribka mengatakan bahwa terkait kasus yang menimpa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, semua ini karena kesalahan sistem yang ada di Indonesia.<br /><br />Ribka mengakui, bahwa demontrasi itu dijamin oleh Undang-undang dan solidaritas kepada teman pun itu boleh saja, apalagi dokter sangat tinggi feodalismenya. Dimana menganggap teman sejawat itu seperti saudara kandung, tinggi sekali. Walaupun temen sejawatnya sudah tidak seperti itu, sudah tidak seperti saudara kandung lagi saat ini.<br /><br />“Saya pernah membawa anak saya ke satu rumah sakit, pas Idul Adha, karena hari ini hari libur konsulnya dobel ya. Sepertinya tidak ada itu di sumpah dokter,” cerita Ribka.<br /><br />Jadi, ujar Ribka, saat ini tidak juga teman sejawat itu menganggap sebagai saudara kandung. Sudah luntur idealisme dokter. Hanya beberapa persen yang masih taat dengan sumpah dokternya.<br />Ribka menjelaskan, bahwa kejadian ini sebagai hal yang harus disikapi bersama. Di sisi lain, pasien juga memang harus mendapat perlindungan.<br /><br />Ribka menceritakan, bahwa dirinya pernah disomasi IDI atas pernyataannya, bahwa dokter lebih jahat dari polisi, karena polisi menilang orang sehat, dokter menilang orang sakit. Sebetulnya, kata Ribka, itu pernyataan seorang pasiennya.<br /><br />Menurut Ribka, hal ini berbeda sekali saat masih di bangku kuliah. Dirinya ingat betul kata-kata dosennya, dr. Sinaga yang menyatakan keilmuan kita, kepintaran kita itu dari Tuhan dan dari dosen kita bisa dipakai.<br />Ketika ada pasien panas sudah empat hari lidah kotor, ungkapnya, kita bisa bilang working diagnosa, diagnosa kita kerja, dan obervasi. “Ibu di rumah anaknya dikasih diet lunak ya. Dokter sekarang tidak. Lab ya bu,” papar Ribka.<br /><br />Dokter sekarang tidak percaya lagi dengan keilmuan dan kepintarannya dari Tuhan. Mereka lebih mempercayakan kepada alat teknologi yang canggih. Mungkin, papar Ribka, karena dari Lab, dokter mendapatkan prosentase 15%.<br />Menurut Ribka, teknologi-tenologi itu menjanjikan. Kapitalisme dan neoliberalisme sudah masuk di bidang kesehatan. Dokter sudah tidak mau tahu lagi pasien itu terbebani beratnya biaya yang harus dikeluarkan.<br /><br />“Belum lagi kalau hasil labnya tidak jelas, diulang lagi ya bu. Itu kan bukan kesalahan pasien,” keluh Ribka.<br />Untuk kasus ini, sebetulnya, ungkap Ribka, yang harus juga dipanggil adalah Persi, Arsada, dan Manajemen Rumah Sakit. Jangan akhirnya yang terdiskriminasikan adalah dokter. <br /><br />Dirinya ingat betul kata-kata dari dokter orangtuanya yang mengatakan, kalau mau jadi dokter jangan jadi pedagang, dan kalau mau jadi pedagang jangan jadi dokter.<br /><br />“Tidak nyambung antara sosial dengan mencari uang, dokter terbebani itu. Apalagi kalau RSUD dijadikan PAD,” tegas Ribka. <em><strong>(das/sc/parle)</strong></em></p>