Para Pahlawan Devisa Di Bandar Seri Begawan

oleh
oleh

Tidak ada perayaan khusus, hanya akhir pekan biasa di pusat pemerintahan Brunei Darussalam pada akhir pekan kedua bulan Juni ini. <p style="text-align: justify;">Namun layaknya pusat perbelanjaan di berbagai negara, Yayasan Shopping Center menjadi pusat keramaian Bandar Seri Begawan. <br /><br />Hanya beberapa langkah dari Masjid Sultan Omar Ali Syaifuddin dan berseberangan dengan Kampong Ayer, Yayasan Shopping Center penuh dengan muda-mudi dan keluarga yang berbelanja atau sekedar bersantai. <br /><br />Sebuah air mancur tepat di tengah pusat perbelanjaan tersebut menjadi oase. <br /><br />Penat selama sepekan tidak terlihat berganti dengan tawa dari wajah-wajah melayu di sana. <br /><br />Dan saat mereka mulai bercakap-cakap baru lah terjawab asal negara mereka. <br /><br />"Tulung difoto ke disik ki, langit e pas apik ki (Tolong difotokan dulu, langitnya kebetulan sedang bagus)," kata Rosdiah (33).<br /><br />Dengan cekatan rekan Rosidah mengambil tablet berukuran enam inchi dari tangannya dan segera mengambil gambar seperti yang diminta. <br /><br />Sore itu Rosidah bersama putri nya berusia kurang dari satu tahun dan bersama dua rekannya sengaja berakhir pekan di Yayasan Shopping Center, sebelum mengantarkan seorang rekan wanitanya ke terminal untuk kembali ke Pontianak dengan bus malam.<br /><br />Dengan logat Brunei Rosidah yang asli Pontianak namun bersuami Banyuwangi ini mengatakan kalau berkumpul di air mancur Yayasan Shopping Center ini seperti kebiasaan hampir semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Bandar Seri Begawan. <br /><br />"Tengok di sana, itu sama, orang-orang Indonesia," kata Rosidah sambil menunjuk beberapa kelompok WNI berusia antara 20–30 tahun. <br /><br />Terakhir ia menunjuk sebuah gerobak yang telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk berjualan berbagai makanan yang memang tampak selalu ramai. <br /><br />Tertulis di daftar menu diantaranya nasi katok seharga satu dolar Brunei dan nasi campur seharga 1,5 dolar Brunei. <br /><br />"Itu yang jualan juga orang Indonesia. Ada nasi katok juga, murah cuma satu dolar, sudah coba?" tanya Rosidah kepada Antara sambil kemudian menyarankan untuk mencobanya. <br /><br />Tidak jauh dari tempat Rosidah duduk bersama rekannya, di sisi berbeda air mancur giliran Rohimin (27) yang sedang asyik berfoto dengan tujuh rekan lainnya. Kali ini logat yang terdengar berbeda, Banyumasan.<br /><br />Rohimin yang akrab disapa Rohim berasal dari Banyumas dan sekitarnya. <br /><br />Mereka rata-rata sudah bekerja dua kali kontrak (enam tahun) di Brunei Darussalam. <br /><br />Dan sama dengan WNI lainnya, di air mancur Yayasan Shopping Center ini lah mereka berkumpul di akhir pekan untuk sekedar melepas penat setelah selama satu minggu bekerja. <br /><br />Pahlawan devisa<br />Rosidah dan Rohim hanya dua perwakilan dari puluhan bahkan mungkin ratusan WNI yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kerja di negeri jiran menjadi penyumbang devisa bagi negara. <br /><br />Ternyata bagi mereka kesempatan itu justru datang di tempat yang jauh dari negeri sendiri.<br /><br />Saat Rosidah dan Rohim bersantai menikmati akhir pekan di pusat pertokoan terbesar, Suprianto (46), masih harus menyelesaikan pekerjaanya di Jalan Kisanggeh, Bandar Seri Begawan. <br /><br />Saat Antara menanyakan alamat, laki-laki yang ternyata asli Banyumas ini masih menunggu kiriman pasir untuk menyemen gorong-gorong tepat di depan Pusat Belia. <br /><br />Ia bersama dua pekerja bangunan lain asal Malaysia akhirnya memutuskan beristirahat untuk makan siang lebih awal karena pasir tidak kunjung datang. <br /><br />Sudah tiga kali Suprianto mendapat kontrak kerja di Brunei Darussalam, yang artinya pria ini yang mengaku pernah bekerja di daerah Ciputat ini telah bekerja sembilan tahun di sana. <br /><br />"Anak dan istri ya di sana di Jawa. Anak saya yang besar SMK, sekarang praktik kerja di Astra," ujar Suprianto. <br /><br />Saat ditanya alasan memilih bekerja di Bandar Seri Begawan, ia hanya tersenyum. <br /><br />Begitu pula saat Antara bertanya apakah penghasilan yang diperoleh begitu besar di negeri jiran, Suprianto tertawa kencang.<br /><br />Berjalan tidak jauh dari tempat Suprianto bekerja, di Jalan Pemancha, tepatnya di samping The Coffee Bean and Tea Leaf antrean panjang terlihat di salah satu bangunan kecil. <br /><br />Beberapa bahkan duduk berjajar di luar menunggu giliran.<br /><br />Tertulis besar pada bagian papan nama bangunan "Pengiriman Wang @Saat". Antrian ternyata para TKI yang baru mendapat kesempatan mentransferkan uangnya ke sanak keluarga di Tanah Air pada akhir pekan setelah memperoleh gaji di awal bulan lalu. <br /><br />Devisa pun mengalir dari tempat-tempat ini, dan dari banyak tempat lain di mana pahlawan devisa bekerja di negeri-negeri seberang.<strong>(das/ant)</strong></p>