Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Cecef Effendy berpendapat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas perlu direvisi. <p style="text-align: justify;">"UU tersebut dibuat pada era puncak kekuasaan Orde Baru yang tidak lagi sesuai dengan kondisi demokrasi saat ini," katanya kepada pers di Jakarta, Minggu (13/02/2011). <br /><br />Dia mengatakan, UU ini dibuat dengan semangat cerminan Orde Baru yang otoriter untuk mengontrol dan mengendalikan ormas waktu itu. <br /><br />"Karena pertumbuhan jumlah ormas yang begitu besar dianggap saat itu sebagai ancaman terhadap rezim Orde Baru," kata Cecep. <br /><br />Menurut dia, UU ini memiliki substansi yang saat ini justru menjadi bumerang dalam membina ormas, khususnya menyangkut hak negara untuk membekukan ormas serta hak negara untuk membubarkan ormas. <br /><br />Dengan kata lain, pembubaran ormas itu hanya dilakukan oleh negara. "Sementara pengertian negara punya dua arti, pemerintah pusat atau pemerintah daerah," katanya. <br /><br />"Di sinilah titik permasalahannya antara rezim kepemimpinan terpusat dan otonomi. Ada kepentingan antarpimpinan daerah atau politisi daerah dengan ormas," katanya. <br /><br />"Inilah kemudian yang kemudian dilihat masyarakat bahwa pembiaran terhadap ormas adalah karena kepentingan diantara mereka. Politisi maupun pemimpin daerah kemudian terlihat kerap seperti memelihara ormas," katanya menambahkan. <br /><br />Dia mengatakan, perkembangan sekarang sudah berubah. "Setting Indonesia sekarang sudah berubah dimana kepala daerah itu dipilih melalui pilkada. Itu artinya bahwa kepala daerah harus membangun dukungan publik untuk memperoleh suara," katanya. <br /><br />Dia mengemukakan, dukungan publik biasanya digalang oleh berbagai macam ormas, Dengan kata lain kepala daerah memiliki kepentingan membangun hubungan baik dengan ormas, yang ketika saatnya tiba dibutuhkan setiap kepala daerah. <br /><br />"Dalam konteks yang demikian apakah mungkin kepala daerah bisa membubarkan ormas?. Kalaupun bisa sangat sulit membayangkan kepala daerah memiliki keberanian untuk itu," katanya. <br /><br />Di sisi lain, masyarakat juga melihat pihak kepolisian pun belum pernah mengusulkan pembubaran ormas. Berbagai peristiwia yang melibatkan ormas seperti yang terjadi di Pandeglang Banten, Temanggung di Jawa Tengah, peristiwa Rempoa, Kamal, Ampera adalah akibat dari prilaku ormas, yang sebenarnya sangat mudah dideteksi dan dijatuhi hukuman. <br /><br />Pertanyaannya sekarang apakah tidak cukup bukti untuk melakukan tindakan tegas terhadap ormas-ormas yang dipandang dan terbukti kerap melakukan pelanggaran. <br /><br />"Usul saya kalau polisi sudah punya cukup bukti bahwa satu dua peristiwa itu dilakukan oleh ormas yang sama, maka harusnya polisi bisa mengajukan gugatan kepada MA untuk dibubarkan atau di daerah kepada pengadilan tinggi," katanya. <br /><br />"Di situ silahkan proses hukum berlaku. Polisi mengungkapkan fakta-fakta untuk pembubaran ormas, si ormas silahkan membela diri. Di situ silahkan pengadilan memutuskan dan kemudian ditindaklanjuti dengan putusan pengadilan apakah ormas itu dibiarkan atau tidak," katanya lagi. <br /><br />Sementara itu, Ketua Presidium Indonesian Police Watch mengimbau jajaran Polri untuk meningkatkan deteksi dini dan antisipasi dini terhadap potensi ancaman kamtibmas di masyarakat, mengingat makin tingginya konflik elit politik di Jakarta dengan ditahannya sejumlah politisi oleh KPK. Konflik elit ini bukan mustahil berdampak ke tingkat bawah. <br /><br />Penggunaan pita dalam kasus Pandeglang patut dicermati untuk memojokkan kelompok tertentu. <br /><br />"Untuk itu, Polri harus segera mengungkapkan siapa di belakang kelompok pita biru agar tidak muncul keresahan dan konflik di akar rumput serta tidak muncul keraguan di lapisan bawah Polri dalam menindak pelaku kerusuhan," katanya. <strong>(phs/Ant)</strong></p>