Perusahaan Di Kutai Timur Umumnya Wajib CSR

oleh
oleh

Perusahaan di Kutai Timur umumnya wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR), mengingat sebagian besar bergerak pada usaha pengelolaan sumber daya alam. <p style="text-align: justify;">"Mahkamah Konstitusi memutuskan CSR menjadi hal yang wajib diimplementasikan oleh perusahaan, khususnya perusahaan di bidang sumberdaya alam," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Profesor Nindyo Pramono di Sangata, Selasa. <br /><br />Hal itu ditegaskan Profesor Nindyo Pramono, saat menjadi narasumber penjelasan dana CSR dengan tema" Apa Itu CSR" di lantai 2 ruang Tempudau Kantor Bupati Kutai Timur, Kompleks Perkantoran Bukit, kemarin. <br /><br />Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi hal yang wajib diimplementasikan oleh perusahaan, khususnya perusahaan di bidang sumber daya alam. <br /><br />Profesor Nindyo Pramono mengatakan CSR sudah tegas diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25/2007 tentang penanaman modal dan UU Nomor 40/2007 tentang perseoran terbatas (PT),"katanya didepan sejumlah pejabat Pemkab Kutai Timur dan para komisaris serta pimpinan perusahaan di Kutai Timur <br /><br />TJSL menurut Nindyo, sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkunan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun pada masyaraka pada umumnya. <br /><br />Secara implisit TJSL diatur dalam pasal 88 ayat I Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. <br /><br />"Jadi pemaknaan CSR secara sempit, hanya sering diterjemahkan atau dimaknai sebagai bentuk memberikan sebagian kekayaan kepada masyarakat (charity, derma, sedekah, sumbangan) sehingga mengaburkan makna CSR sesungguhnya,"ujar dia <br /><br />Sumber biaya CSR telah tegas diatur dalam pasal 74 UU Nomor 40/2007 tentang perseroan terbatas. Tanggung sosial perusahaan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajarannya. <br /><br />"Jadi menurut undang-undang perseroan terbatas, sumber pembiayaan CSR wajib dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya. Tapi menurut amanah undang-undang BUMN, CSR diambil dari laba bersih. Hanya sumber pembiayaan CSR, ini masih menimbulkan perdebatan," kata dia. <br /><br />Keputusan MK <br /><br />Sebelumnya, MK mengeluarkan putusan terkait pengujian Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) serta penjelasan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Rabu (15/04), di ruang sidang MK. <br /><br />Para pemohon berasal dari para pebisnis terkemuka, yaitu Muhammad Suleiman Hidayat (Ketua Umum Kadin/Pemohon I), Erwin Aksa (Ketua Umum BPP HIPMI/Pemohon II), Fahrina Fahmi Idris (Ketua Umum IWAPI/Pemohon III), dan oleh beberapa perusahaan. <br /><br />Perusahaan itu, yakni PT. LILI PANMA (Pemohon IV), PT. APAC CENTRA CENTERTEX, Tbk. (Pemohon V), PT. KREASI TIGA PILAR (Pemohon VI). Para pemohon didampingi oleh kuasa hukumnya, yaitu Dr. Bambang Widjajanto, SH, LL.M, Iskandar Sonhadji, SH., Abdul Fickar Hadjar, SH. <br /><br />Majelis dalam putusannya menyatakan bahwa Pemohon I, II, dan III tidak memiliki legal standing karena tidak menguraikan dengan jelas dalam permohonannya kerugian konstitusional seperti apa yang mereka alami dari berlakunya Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 40/2007. Sedangkan terhadap pemohon lainnya MK berpendapat bahwa mereka memiliki legal standing. <br /><br />MK dalam pertimbangannya berpendapat bahwa keberadaan Pasal 74 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 40/2007 tersebut merupakan turunan dari Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". <br /><br />Terkait hal itu sehingga kewajiban dari negara, menurut Majelis, melindungi hak konstitusional warga di lingkungan perusahaan tersebut melalui pengaturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan yang diuntungkan dari aset pertambangan agar membagi kekayaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. <br /><br />Majelis juga berpendapat Pasal 74 tidaklah diskriminatif walaupun ketentuan tersebut hanya diperuntukkan bagi perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan sumber daya alam (misalnya perusahan pertambangan). <br /><br />Terhadap perusahaan yang bergerak di luar pemanfaatan sumber daya alam, Majelis berpendapat bahwa sesungguhnya tanggung jawab sosialnya telah diatur dalam Pasal 15 huruf b UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. <br /><br />Dalam putusan perkara 53/PUU-VI/2008 ini terdapat tiga orang Hakim MK yang mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M. Arsyad Sanusi. Ketiga Hakim Konstitusi tersebut berpendapat bahwa Pasal 74 diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945. <strong>(das/ant)</strong></p>