Dari tahun ketahun target pajak dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terus ditingkatkan. <p style="text-align: justify;">Hal itu membuat Bidang Penagihan di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) mengalami kelabakan untuk mengejar target tersebut. <br /><br />Terlebih lagi potensi yang diharapkan untuk mencapai target tersebut sulit untuk membayar pajak BPHTB. <br /><br />“Penetapan target memang disesuaikan dengan potensi objek wajib pajak, hanya saja objek wajib pajak ini yang masih tidak taat pajak,” ungkap Timardes, Kepala Bidang Penagihan DPPKAD Melawi, Senin (12/10).<br /><br />Seperti pada tahun 2014 lalu target pajak BPHTB sebesar Rp 3 milyar, sementara berhasil terealisasi hanya sebesar Rp 508 juta, atau 20 persen dari target. Pada tahun 2015 ini target BPHTB naik lagi menjadi Rp 4 milyar. “Yang terkena pajak BPHTB ini hanya jual beli tanah dan rumah. Itupun hanya untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang diatas Rp 60 juta keatas yang terkena pajak BPHTB,” ucapnya.<br /><br />Menurut dia, pajak BPHTB yang didapat tahun lalu Rp 508 juta tersebut hanya dari trasaksi jual beli tanah dan rumah yang berada di kota Nanga Pinoh, sementara dari perusahaan perkebunan tidak ada yang bayar BPHTB-nya. “Karena hasil yang didapat kecil, sehingga terkesan kami tidak bekerja. Padahal bukan kami tidak bekerja, tapi objek pajak seperti perusahaan tidak ada yang bayar,” ucapnya.<br /><br />Timardes menegaskan, kalau perusahaan perkebunan yang menjadi objek pajak tersebut ada yang bayar BPHTB, tidak menutup kemungkinan target pada tahun 2015 yang sebesar Rp 4 milyar bisa tercapai. Tapi kalau hanya mengharapkan yang dalam kota Nanga Pinoh tentunya akan sulit untuk mencapai target. <br /><br />“Sebenarnya kewajiban perusahaan perkebunan untuk bayar BPHTB ini sekali saja sebelum diterbitkan Hak Guna Usaha (HGU). Tapi kenyataanya masih banyak perusahaan yang belum bayar BPHTB. Dari target Rp. 4 M, yang sudah terealisasi hanya sekitar 8,44 persen atau Rp. 337,4 juta,” ujarnya.<br /><br />Sebenarnya kata Timardes, yang diharapkan daerah dari masuknya investasi perkebunan itu hanya dari pajak BPHTB ini, karena dari BPHTB ini yang bisa memberikan kontribusi langsung kepada daerah. Sebab Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) khusus diperusahaan perkebunan masih ditangani oleh pemerintah pusat, sementara daerah hanya mendapatkan bagi hasilnya saja.<br /> <br />“Sebelumnya BPHTB juga dikelola oleh pusat, namun sejak tahun 2011, BPHTB dilimpahkan ke daerah untuk mengelolanya. Hal itu sesuai dengan Peraturan daerah nomor 2 tahun 2011 tentang BPHTB,” tuturnya.<br /><br />Dia juga menambahkan sesuai dengan pasal 90 ayat (2) Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, saat terutangnya pajak BPHTB sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan pemberian hak dan pendaftaran hak atas tanah hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. <br /><br />“Sementara yang terjadi, buah sawitnya sudah sampai produksi, masih banyak perusahaan yang belum bayar BPHTB. Yang sudah bayar baru 4 perusahaan saja, PT. SDK, PT. Citra Mahkota, PT. Rafi Kamajaya Abadi dan PT., dan PT. PBK,” ujarnya.<br /><br />Menurut Timardes, ada perusahaan memberikan alasan, mereka belum bayar BPHTB, karena lahan banyak bermasalah. Seharusnya kata dia, walaupun masih ada lahan yang bermasalah, paling tidak lahan yang sudah ditanam dan sudah dipanen tersebut dibayarkan dului BPHTB-nya. <br /><br />“Kami berharap kepada semua perusahaan perkebunan di Melawi yang belum bayar BPHTB supaya segera melaksanakan kewajibannya, karena hanya dari perusahaan satu-satunya solusi bagi kami untuk mengejar target yang sudah ditetapkan,” pungkasnya. (KN)</p>