Pokja KIP Suarakan Transparansi

oleh
oleh

Era keterbukaan memberikan keniscayaan bagi publik untuk mengakses beragam informasi yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, apalagi sumber pendanaan kegiatan diambil dari uang negara. <p style="text-align: justify;">“Tidak ada yang bisa ditutupi dalam penyelenggaraan pemerintahan, kecuali informasi yang masuk pengecualian,” ujar Morjiri, Juru Bicara Kelompok Kerja Keterbukaan Informasi Publik (Pokja KIP) Kabupaten Sintang kepada Kalimantan-news.com, Senin ( 24/10) di Sintang.<br /><br />Terkait soal keterbukaan informasi itu, ia mencoba menelaah tiga hal yang belakangan menghiasi pemberitaan di media massa.<br /><br />“Yang pertama persoalam Amdal, ada semacam tudingan kalau pemerintah daerah merekayasa dokumen lingkungan itu,” jelasnya.<br /><br />Menurut dia, di era keterbukaan ini, semestinya pemerintah harus mampu menjelaskan secara transparan kepada publik soal proses keluarnya Amdal untuk perusahaan perkebunan di Sintang.<br /><br />“Kita sangat menyesalkan kalau ternyata muncul dugaan proses rekayasa, karena kegiatan itu sebuah peristiwa hukum yang perlu akuntabilitas,” ucapnya.<br /><br />Kedepan tentunya kata dia, Pemkab Sintang harus lebih intens lagi dalam melakukan sosialiasasi terhadap keputusan-keputusan atau kebijakan publik. <br /><br />Sementara, soal keterbukaan dalam penegakan hukum, ia mengatakan transparansi terhadap proses hukum khususnya kasus korupsi harus dilakukan meskipun ada pengecualian terhadap informasi yang belum bisa dibuka dengan tujuan kepentingan penyidikan.<br /><br />“Kita tetap menginginkan transparansi penegakan hukum dalam kasus korupsi di Sintang seperti PLTMH Gurung Mali maupun pengadaan genset atau laporan ADD yang sekarang ditangani Kejari Sintang,” kata dia.<br /><br />Ia minta Kejari Sintang bisa membuka ke publik soal siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka dalam beberapa kasus tersebut atau menyampaikan progres penanganan perkara ke publik.<br /><br />“Karena beberapa kasus tersebut sudah cukup lama sehingga jelas kinerja yang terkesan lamban ini jadi pertanyaan kita,” ucapnya.<br /><br />Ia juga tidak sependapat jika penyeleisan perbuatan korupsi hanya digunakan Perda Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TPTGR) untuk menindaklanjutinya. <br /><br />“Begitu enaknya para pejabat publik yang hanya diberikan toleransi mengganti kebocoran anggaran slama dua tahun, padahal kita tahu perbuatan korupsi anggaran sudah terjadi,” kata dia.<br /><br />Selama ini menurutnya, ada dalih kesalahan administrasi, padahal dalam pelaksanaan kegiatan terdapat permasalahan yang tidak sesuai dengan penggunaan anggaran.<br /> <br />“Kita minta terhadap persoalan korupsi, kejaksaan harus tegas, karena kalau hanya diterapkan ganti rugi atau pengembalian uang berarti hukum hanya buat rakyat kecil saja,” imbuhnya.<br /><br />Ketika tindak kejahatan sudah terjadi maka lanjut dia proses hukum harus ada, jangan hanya pencurian dan pidana umum lainnya yang bisa diproses.<br /><br />“Kami mencatat banyak kasus yang makin tidak seperti kasus dana penyertaan PDAM, PLTMH, maupun Genset dan laporan ADD, jelas kita pertanyakan kinerja kejaksaan dan jajarannya,” ucapnya.<br /><br />Juru bicara Pokja KIP lainnya, Umar Dhani menyikapi soal pembentukan perda hak ulayat, ia menilai Pemkab sintang mesti melakukan kajian mendalam melibatkan banyak pihak dan perlu tim untuk penelitian.<br /><br />“Sosialisasikan dengan masyarakat karena ada kemajemukan sub suku dayak sehingga perda itu benar-benar bermanfaat untuk kepentingan rakyat,” kata dia.<br /><br />Jadi menurutnya, perda tersebut haruslah disusun atas tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat yang seakan diabaikan demi kepentingan investasi.<br /><br />“Jadi niat besar pembuatan perda itu bukan untuk kepentingan melindungi investasi perusahaan yang sekarang banyak menuai persoalan dengan masyarakat sehingga pembuatan perda ulayat harus melibatkan banyak unsur,” ucapnya.<strong> (phs)</strong></p>