Sejumlah regulasi dikeluarkan pemerintah pusat untuk mengatur tata usaha perkayuan di negeri ini, namun sayangnya dari sejumlah regulasi yang ada, sangat kecil peluang daerah bisa memenuhi kebutuhan kayu secara legal. <p style="text-align: justify;">“Secara aturan memang ada beberapa alternatif daerah bisa memenuhi kebutuhan kayu, namun penerapannya tidak segampang yang dipikirkan, ada persyaratan dans ejumlah standar yang harus dipenuhi sehingga itu menjadi sulit dilaksanakan,” kata Sulhani, Direktur Yayasan Titian kepada kalimantan-news, Rabu (08/06/2011).<br /><br />Ia mencontohkan aturan soal Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada Areal Penggunaan Lain (APL) yang diatur dalam P.58/2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan dari IPK. Dalam pasal 3 dijelaskan izin diberikan oleh Kepala Dinas Kabupaten untuk lokasi APL dengan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Propinsi.<br /><br />Pada pasal 8 disebutkan menyampaikan/membayar bank garansi sebesar 3/12 dari taksiran volume kayu serta pasal 21 yaitu membayar PSDH, DR dan pengganti nilai tegakan yaitu harga patokan dikurangi PSDH, DR dan biaya produksi. <br /><br />“Potensinya sebenarnya cukup besar, tetapi untukmendapatkan kayu dari sumber ini juga sulit karena birokrasi pengurusan IPK rumit dan kalaupun ada harganya tentu akan mahal karena berlaku harga yang lebih tinggi, sementara masyarakat masih mudah mendapatkan kayu ilegal,” ucapnya.<br /><br />Sedangkan, untuk mendapatkan kayu dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) maupun IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) yang punya kewajiban menyisihkan maksimal 5 persen dari rencana kerja tahunan untuk pemenuhan kebutuhan lokal juga dirasakan sulit terpenuhi.<br /><br />“Mesti ada industri primer untuk mengolah kayu log menjadi kayu gergajian dan membangun industri itu modalnya besar, sementara harga kayu berlaku harga dunia, kalah saing dengan kayu ilegal yang beredar di pasaran lokal,” tukasnya.<br /><br />Ada peluang menurutnya untuk mendapatkan kayu lokal dari hutan hak atau hutan rakyat sesuai P.26/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak, dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan tanah yang ditunjuk sebagai hutan hak adalah tanah yg telah dibebani alas hak berupa sertifikat, hak guna usaha atau hak pakai.<br /><br />“Yang jadi persoalan lahan berhutan mana yang sudah mengantongi alas hak sehingga bisa jadi dasar untuk melakukan penebangan,” kata dia.<br /><br />Pembentukan hutan desa juga menurutnya merupakan peluang karena ketika kawasan kelola hutan desa sudah terbentuk dan boleh melakukan penebangan maksimal 50 meter kubik pertahun, namun tetap saja masih berat dilakukan.<br /><br />“Masalah untuk produksi 50 meter kubik pertahun saja mekanisme yang dilalui sudah seperti HPH, artinya ini cukup memberatkan,” jelasnya.<br /><br />Upaya pemenuhan kebutuhan kayu secara legal ini menurutnya memang harus diperhatikan dengan seksama dan melibatkan para pihak.<br /><br />“Karena bagaimanapun kita tidak bisa menutup mata kalau kayu yang beredar sekarang adalah ilegal,” pungkasnya. <br /><br />Sejumlah aturan lain yang dibuat pemerintah pusat juga tidak memberikan ruang yang luas bagi pemerintah daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan kayu. <strong>(phs)</strong></p>