Kerja para bidan terutama di daerah terpencil kerap belum mendapat kepastian hukum, insentif, dan bahkan tumpang tindih wilayah kerjanya dengan dokter spesialis anak. Untuk itu, Komisi IX dan pemerintah sedang merancang UU yang bisa melindungi kerja para bidan. <p>Demikian terungkap dalam diskusi Forum Legislasi yang membahas RUU Kebidanan dengan menghadirkan pembicara Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago, Ketua Ikatan Bidan Indonesia Emy Nurjasmi, dan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kartono Muhammad. Menurut Irma, RUU ini tidak saja memberi perlindungan, tapi juga memberi sanksi bila terjadi malapraktik.<br /><br />Dijelaskan Irma, banyak persoalan kekinian yang melingkupi profesi bidan. Dari mulai sertifikasi, sekolah kebidanan, batasan kerja yang bisa dilakukan bidan, hingga kesejahteraannya. Jumlah bidan, lanjut Irma, sudah terlalu banyak, namun belum semua bersertifikasi. Politisi Partai Nasdem ini juga mengkritik pemerintah lewat Dikti yang mudah mengeluarkan izin sekolah kebidanan. Semua hal ini kelak akan diatur dalam RUU Kebidanan yang sedang dibahas.<br /><br />Persoalan bidan di daerah tidak sederhana. Masyarakat di pelosok daerah malah lebih percaya pada bidan daripada dokter bila ingin berobat. Apalagi di daerah yang sama sekali tidak ada dokter. Bidan kadang terpaksa mengambil tindakan medik sampai mengeluarkan resep yang sesungguhnya dilarang oleh UU. Fakta ini menjadi perhatian serius Komisi IX dan pemerintah. RUU yang menjadi inisiatif DPR ini sebenarnya sudah sejak 2003 digulirkan.<br /><br />Dikatakan Irma, butuh tiga kali masa sidang untuk menyelesaikan RUU ini. Semua organisasi profesi terkait, sudah diundang ke Komisi IX untuk memberi masukan. Emy Nurjasmi juga mengakui bahwa 87% ibu hamil di desa pergi ke bidan untuk mendapat layanan kesehatan. Untuk itu, perlu bidan yang kompeten dan bertanggung jawab untuk melayani masyarakat. Bidan butuh kenyamanan, kemanan, dan status yang jelas. Dan RUU Kebidanan harus merumuskan semua ini.<br /><br />Menurut Emy, wilayah kerja bidan adalah sejak masa kehamilan sampai bayi tersebut berusia 5 tahun. Jadi ada dua nyawa yang menjadi tanggung jawab bidan, ibu hamil dan anaknya. Generasi sehat dan cerdas ada di tangan para bidan. Pada bagian lain, Emy juga melihat, bidan butuh pendidikan lanjutan untuk mengembangkan karir dan keilmuannya. Tapi bidan di desa masih kesulitan mendapat akses pendidikan yang lebih tinggi. Ini perlu pengaturannya.<br /><br />Sementara Kartono Muhammad mengimbau agar kompetensi bidan ditangani oleh organisasi profesinya, dalam hal ini IBI. Dan IBI sendiri harus mendapat pengakuan dari UU Kebidanan agar bisa bertindak legal seperti IDI yang juga diakui oleh UU Praktik Kedokteran. Soal tindakan medik yang berbenturan dengan UU profesi dokter, perlu kembali ditegaskan batasannya. Dalam kondisi apa para bidan boleh mengambil tindakan medik. Yang jelas RUU ini jadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan layanan kesehatan kepada masyarakat. (mh)</p> <p> </p> <p style="text-align: justify;">Sumber: http://www.dpr.go.id</p>