RUU Pemilu Akomodir Hak Politik Penyandang Disabilitas

oleh
oleh

Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR RI Hetifah Sjaifudian memandang penting melibatkan penyandang disabilitas dalam pembuatan regulasi RUU Pemilu. Menurutnya, masih ada praktek diskriminasi terhadap kaum difabel, sehingga hak politiknya perlu diatur khusus dalam RUU ini. <p style="text-align: justify;"><br />“Pertemuan ini sangat penting untuk membuat aturan yang berkeadilan bagi penyandang disabilitas,” ungkap Hetifah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kemenkominfo, Twitter Indonesia, Google Indonesia dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/02/2015).<br /><br />Politisi dari Fraksi Golkar itu juga mengingatkan bahwa perjuangan kaum disabilitas tidak bisa jalan sendiri sehingga harus melibatkan pihak lain, salah satunya DPR melalui RUU ini. Ia berharap, representasi penyandang disabilitas dapat terakomodir pada pemilu maupun pilkada selanjutnya.<br /><br />Sependapat dengan Hetifah,  Ketua Pansus Lukman Edy mengatakan jika UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hanya mengatur secara umum. Maka, RUU Penyelengaraan Pemilu harus mengatur hak politik mereka.<br /><br />Menurut politisi dari F-PKB itu, RUU ini akan memberikan ruang kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ramah terhadap penyandang disabilitas.<br /><br />“Apakah disetiap TPS akan disediakan sarana fasilitas yang ramah atau dengan mekanisme membuat TPS khusus atau jemput bola untuk mengumpulkan suara dari penyandang disabilitas,” jelas Lukman.<br /><br />Disisi lain, ia juga menyoroti hak untuk dipilih bagi penyandang disabilitas.  Menurutnya, sudah banyak kaum difabel yang cukup kompeten tetapi tidak diberikan kesempatan yang sama dengan yang normal. Harus ada aturan-aturan yang tidak mendiskriminatif, seperti  syarat sehat jasmani dan rohani yang dinilai multi tafsir, sehingga pihak rumah sakit dan dokter pun menutup akses pencalonan.<br /><br />“Misalnya seorang tidak bisa mendengar atau melihat itu dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani. Menilai mereka itu tidak sehat secara jasmani, mohon dikoreksi. Harus ada ukuran-ukuran yang tidak membuat mereka terdiskriminasi,” tutur Lukman.<br /><br />Selanjutnya, masih dikatakan politisi F-PKB itu, untuk mendorong keterwakilan penyandang disabilitas, maka harus ada tindakan afirmasi sehingga kompetisi antara yang normal dan difabel berjalan seimbang, misalnya dengan memberikan diskon kursi.<br /><br />“1 kursi anggota DPR normal itu 500 ribu, maka ada diskon kepada disabilitas, bisa kurang dari 25 persen. Sedangkan untuk mencalonkan di DPD, syaratnya ada 2000 KTP, maka kaum disabilitas bisa dikurangi separuhnya, cukup 1000. Kemungkinan seperti itu pola-pola kita untuk mendorong afirmasi disabilitas,” tandasnya.<br /><br />Sebelumnya, Ketua PPDI Gufroni Sakaril menyampaikan bahwa penyandang disabilitas selain punya hak memilih, juga punya hak dipilih dan menyelenggarakan pemilu. PPDI berharap ada aturan yang mendukung kelompok disabilitas untuk menjadi anggota DPR/DPRD/DPD.<br /><br />Beberapa poin yang diusulkan PPDI ketentuan “sehat jasmani dan rohani” dalam pencalegan  sebaiknya dihilangkan karena multi-tafsir. Banyak publik dan bahkan dokter menganggap penyandang disabilitas sama dengan sakit, padahal tidak. PPDI  juga mengusulkan  keterwakilan penyandang disabilitas sebesar  10 persen. (ann,sc)<br /><br /><br />Sumber: http://www.dpr.go.id</p>