Kondisi SDN 18 Desa Sepantai, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, sangat memprihatinkan, yakni hanya memiliki tiga ruang belajar, dengan bagian dek yang bolong, kursi dan meja tidak layak pakai. <p style="text-align: justify;">"Kondisi SDN 18 Sepantai, sudah beberapa kali kami adukan ke Pemerintah Kabupaten Sambas, agar dilakukan perbaikan, tetapi terkesan diabaikan oleh pemerintah," kata Kepala Desa Sepantai Herlin di Sambas, Kamis.<br /><br />Herlin menjelaskan, SDN 18 yang lokasinya kini tinggal tiga sampai lima meter dari Sungai Sepantai, selain terancam abrasi sungai, kondisinya juga sangat memprihatinkan dan mengancam keselamatan anak-anak desa tersebut, kalau tiba-tiba bangunan sekolah itu ambruk.<br /><br />Bangunan sekolah SDN Impres tersebut dibangun tahun 1978 kondisinya sangat memprihatinkan, kondisi dinding dari semen yang sudah bolong-bolong, dek atas yang berlubang, dinding pembatas antar ruang yang juga sudah rusak, kursi dan mejanya jauh dari layak pakai, kini masih digunakan karena bantuan dari Pemkab Sambas yang akan membangun gedung baru belum juga terealisasi, kata Herlin.<br /><br />"Pemkab Sambas memang sudah membangun gedung SDN 18 yang baru, tetapi belum bisa digunakan karena wc saja belum ada, selain itu hanya dua ruang belajar atau lebih sedikit dari ruang belajar yang ada sekarang, yakni tiga ruang belajar," ungkap Herlin.<br /><br />Kepala Desa Sepantai menambahkan, kini sebanyak 43 murid SDN 18 Sepantai dari kelas satu hingga enam mau tidak mau harus belajar dengan kondisi serba terbatas, malah kelas satu dan dua digabung hanya dipisahkan oleh jarak kursi dan meja, begitu juga kelas tiga dan empat, kelas lima dan kelas enam yang juga ikut digabung, dengan empat orang guru yang semuanya berstatus pegawai negeri sipil.<br /><br />"Selain serba keterbatasan itu, para siswa dan siswi SDN 18 juga harus bersusah payah menggunakan transportasi air, seperti sampan kecil yang dibawa sendiri oleh para siswa dan siswi itu, karena letak SDN itu dengan pemukiman penduduk yang dipisahkan oleh Sungai Sepantai," ujarnya.<br /><br />Malah menurut dia, dengan lokasi gedung SDN 18 yang cukup dekat dengan sungai, sehingga sering tenggelam apabila banjir. "Malah sekolah itu pernah terendam hingga ketinggian tiga sampai empat meter sehingga aktivitas sekolah terhenti bahkan sampai berbulan-bulan tidak bisa melakukan aktivitas belajar," kata Herlin.<br /><br />Dia berharap, Pemkab Sambas memperhatikan infrastruktur pendidikan dan jalan di desanya sehingga anak-anak desa itu bisa malanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang yang lebih tinggi lagi, minimal SMA/sederajat.<br /><br />Data Kepala Desa Sepantai, dari 100 anak di desanya hampir 90 anak putus sekolah, dengan perkiraan setelah selesai SD yang melanjutkan ke jenjang SMP hanya 50 anak, kemudian dari jenjang SMP ke SMA tinggal 10 anak yang melanjutkan, dengan berbagai permasalahan, mulai dari minimnya infrastruktur pendidikan dan jalan, hingga faktor ekonomi, dan faktor lainnya.<br /><br />Hal senada juga diakui oleh, Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah, Iskak. Ia mengatakan, sekitar delapan ribu atau tiga ribu kepala keluarga di Transmigrasi Satai, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, saat ini sangat membutuhkan sarana infrastruktur pendidikan dan jalan yang kondisinya sangat memprihatinkan.<br /><br />"Transmigrasi Satai seperti tidak ada di peta, sehingga terkesan di lupakan," katanya.<br /><br />Iskak menjelaskan, sejak pengelolaan Transmigrasi Satai diserahkan pada pemerintah daerah, infrastruktur jalan dan pendidikan tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalbar.<br /><br />Transmigrasi Satai terdiri dari empat satuan pemukiman (SP), yakni SP A hinggai SP D, dengan jumlah kepala keluarga sekitar tiga ribuan, dengan jumlah delapan ribuan tersebut.<br /><br />Transmigrasi Satai berdiri sejak tahun 1982, dan baru disediakan fasilitas SDN sejak tahun 1984, yakni SDN 11 Satai, sekarang sudah empat SD, SMP dua unit, yaitu SMPN 2, dan SMPN V satu atap, sementara SMA tahun 2011 baru didirikan.<br /><br />"Untuk SMA fasilitasnya kurang sehingga banyak anak-anak kami yang sekolah di Kota Sambas, harus sewa kost dengan Rp350 ribu/bulan atau total Rp1 juta untuk satu bulan, termasuk uang makan dan ongkos lainnya," ungkap Iskak.<br /><br />Dalam kesempatan itu, Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah tersebut, meyambut baik dengan telah masuknya LSM Save the Children sehingga bisa memotivasi anak-anak lebih giat belajar yang sebelumnya cenderung turun akibat minimnya infrastruktur pendidikan dan jalan.<br /><br />"Kami berharap program serupa terus berlanjut sehingga anak-anak kami dari keluarga tidak mampu bisa terus mengeyam pendidikan minimal hingga jenjang SMA/sederajat," ujarnya.<strong> (das/ant)</strong></p>