SINTANG, KN – Surat pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat Dusun Nalai, Desa Talian Sahabung, Kecamatan Serawai, kepada Bupati Sintang pada 01 November 2025 bukan sekadar laporan administratif.
Surat tersebut adalah jeritan warga yang merasa diabaikan selama bertahun-tahun oleh perusahaan besar yang beroperasi di tanah mereka — PT Sumber Hasil Prima (SHP) — tanpa penyelesaian ganti rugi yang adil.
Dalam surat itu, warga atas nama Zulkarnaen Kuling menjelaskan bahwa sejak tahun 2013, sebagian tanah miliknya seluas ±2.050 meter persegi telah digunakan oleh PT SHP sebagai akses jalan utama menuju kebun sawit, namun hingga kini tidak pernah dibayar ganti rugi secara penuh.
Selain sdr Kuling ada juga warga lain yang menyampaikan surat dengan permasalahan yang sama kepada Bupati Sintang
Berbagai upaya musyawarah dan surat teguran telah disampaikan, namun tidak pernah direspons. Alih-alih menyelesaikan, pihak perusahaan bahkan disebut memaksa pemilik lahan menandatangani Berita Acara sepihak yang tidak sesuai dengan fakta hukum.
Kewajiban Pemerintah Daerah Tidak Bisa Ditunda
Melihat dari sisi kebijakan publik, Advokat dari Kantor Hukum AMFM Attorney at Law menilai bahwa kasus ini bukan semata konflik warga dan korporasi, tetapi juga menyangkut fungsi negara dalam melindungi hak-hak rakyatnya, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 12 undang-undang tersebut menegaskan bahwa urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar mencakup ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat. Artinya, ketika terjadi ketimpangan kekuasaan antara masyarakat kecil dan korporasi besar, pemerintah daerah wajib hadir sebagai penengah yang adil, bukan penonton yang diam.
Dalam konteks ini, Bupati Sintang beserta jajarannya — termasuk Camat Serawai dan Pemerintah Desa Talian Sahabung — memiliki kewajiban moral dan hukum untuk turun langsung ke lapangan. Mereka harus memastikan bahwa kegiatan investasi yang berjalan di wilayah Sintang tidak menabrak hak-hak dasar warga yang telah turun-temurun mengelola tanahnya.
Negosiasi Buntu: Bukti Ketimpangan di Lapangan
Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa negosiasi yang dilakukan antara Humas PT SHP dan masyarakat pada 31 Oktober 2025 kembali berujung buntu.
Berdasarkan informasi di lapangan Plperusahaan tidak mampu menunjukkan bukti pembayaran ganti rugi atau saksi yang dapat menguatkan klaimnya bahwa tanah warga telah diganti rugi. Sebaliknya, warga mengklaim dapat menunjukkan bukti dan saksi bahwa mereka memang memilik hak, dan belum pernah menerima kompensasi apa pun.
Ironisnya, pihak perusahaan tetap memaksa warga membuka portal jalan agar aktivitas operasional perkebunan bisa kembali berjalan, tanpa menawarkan penyelesaian konkrit. Ini menunjukkan adanya asimetri kekuasaan, di mana masyarakat kecil dihadapkan pada tekanan korporasi tanpa perlindungan nyata dari otoritas publik.
Pemerintah Tidak Boleh Netral terhadap Ketidakadilan
Kita perlu mengingat prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah:
“Negara tidak boleh netral terhadap ketidakadilan.”
Dalam kasus ini, netral berarti membiarkan ketidakadilan terus berjalan. Jika pemerintah daerah tidak segera mengambil langkah tegas, bukan tidak mungkin masalah ini akan berkembang menjadi konflik merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan mencoreng citra investasi di daerah.
Oleh karena itu, langkah Zulkarnaen Kuling dan warga untuk melaporkan secara resmi ke Bupati Sintang adalah langkah tepat dan konstitusional. Namun tanggung jawab berikutnya kini berada di pundak Bupati Sintang, untuk memastikan adanya tindakan nyata, bukan sekadar tanggapan administratif.
Ajakan untuk Bertindak
Kami dari Kantor Hukum AMFM Attorney at Law menyerukan agar:
Bupati Sintang segera membentuk tim mediasi independen yang melibatkan unsur Pemerintah Kabupaten, aparat desa, perwakilan masyarakat, dan lembaga bantuan hukum, yang tentunya kompeten dan punya kapasitas mumpuni.
Dinas Perkebunan dan Dinas Pertanahan Kabupaten Sintang segera melakukan verifikasi lapangan terhadap batas dan status lahan yang disengketakan.
Camat Serawai dan Kepala Desa Talian Sahabung diberi mandat untuk memastikan proses negosiasi berjalan dengan transparan dan menghormati hak masyarakat.
PT Sumber Hasil Prima (SHP) harus diminta menunjukkan bukti tertulis dan sah secara hukum atas klaim ganti rugi yang disebut telah dibayar.
Investasi memang penting bagi pembangunan daerah, tetapi tidak boleh dibangun di atas penderitaan masyarakat kecil. Kehadiran negara melalui pemerintah daerah adalah wujud nyata dari mandat konstitusi, bahwa tanah, air, dan sumber daya yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tentu kita menunggu gebrakan dari Bupati Sintang sebagai pembela masyarakat kecil, dalam periode pertama kepemimpinannya di bumi senentang yang mempunyai semboyan “ Sintang Kota Maju, Sintang Adalah Kita.













