Persoalan sengeka lahan PT Parna Agromas dengan masyarakat di Desa Semadu Kecamatan Belitang Hilir kembali mencuat. Saat ini pihak Pemkab dan DPRD berupaya mencari solusi masalah itu. <p style="text-align: justify;">“Kami baru selesai rapat dengan TP4K soal lahan sengketa di Semadu. Intinya, PT. Parna Agromas untuk sementara diminta menghentikan aktivitas di lahan sengketa sebelum ada keputusan soal nasib lahan itu,” kata Musa A, anggota komisi B DPRD Sekadau di kantor DPRD Sekadau.<br /><br />Sebelumnya sudah ada pertemuan intensif antara DPRD Sekadau dengan tim penyelesaian permasalahan perkebunan, pertanahan dan kehutanan (TP4K) Kabupaten Sekadau perihal tuntutan masyarakat Desa Semadu Kecamatan Belitang Hilir agar PT. Parna Agro Mas mengembalikan lahan seluas 318 hektar kepada masyarakat. <br /><br />Lahan tersebut saat ini digarap PT. PAM sebagai areal perkebunan kelapa sawit. Sementara, masyarakat mengklaim lahan tersebut merupakan kawasan areal penggunaan lain yang menjadi hak masyarakat.<br /><br />Cerita persengketaan ini sangat panjang dan berliku-liku. Lahan seluas 218 hektar yang menjadi obyek perebutan diklaim berada dalam kawasan hak guna usaha (HGU) oleh manajemen PT. Parna Agromas yang diakuisisi oleh LG International pada tahun 2010 silam. HGU tersebut dipetakan oleh BPN pusat pada tahun 2002.<br /><br />Sementara, SK Menhut nomor 259/Kpts-II/2000 yang mengatur tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat juga mencakup sebagian wilayah Desa Semadu. <br /><br />Hanya saja, penetapan tata batas kawasan yang terpetakan dalam SK tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2012.<br /><br />Masalah muncul saat lahan seluas 318 hektar yang telah ditanami kelapa sawit oleh PT. PAM diklaim berada dalam kawasan yang masuk dalam peta Kementerian Kehutanan. Akhirnya, dipasang lah patok batas di kawasan itu.<br /><br />Dengan dipatoknya lahan tersebut, masyarakat setempat semakin yakin bahwa PT. PAM tidak berhak mengelola lahan itu. Namun, sudah pasti PT. PAM bergeming dan tak ingin rugi. Mereka menghapus patok-patok yang dipasang dengan cara menimbun patok tersebut meski kemudian timbunan dibuka kembali.<br /><br />Permasalahan ini akhirnya sampai ke telinga DPRD Sekadau. Komisi B beberapa waktu lalu turun langsung ke lokasi lahan sengketa. Menindaklanjuti hasil blusukan itu, digelarlah pertemuan dengan TP4K yang dilaksanakan kemarin.<br /><br />“Tadi kami dengan TP4K sudah sepakat memberi waktu dua pekan. Setelah itu, akan ada pertemuan kembali dengan melibatkan manajemen PT PAM serta perwakilan masyarakat,” kata Musa.<br /><br />Teguh Arif Hardianto anggota komisi B lainnya menambahkan, manajemen perusahaan diminta tidadk mengabaikan undangan pertemuan yang akan digelar dua pekan mendatang. “Kalau tidak datang jangan salahkan kalau nanti diputuskan sepihak,” tegas Teguh.<br /><br />Terpisah, anggota TP4K Jimmy Sallan mengamini pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan DPRD Sekadau untuk memberikan tenggat waktu selama dua pekan bagi para pihak untuk menyiapkan diri menuju pertemuan bersama yang sudah dijadwalkan 14 hari kedepan.<br /><br />“Soal permintaan DPRD agar PT. PAM menghentikan sementara aktivitas di lahan sengketa, kami akan laporkan kepada bupati dulu. Kami tentu tidak bisa ambil keputusan sendiri tanpa ijin bupati,” ujar pria yang juga menjabat Kabag Ekon Setda Kabupaten Sekadau ini.<br /><br />Sementara, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sekadau, Sandae mengaku akan menelaah detail permasalahan tersebut terlebih dahulu.<br /><br />“Termasuk soal klaim PT PAM yang menyatakan lokasi tersebut berada dalam HGU mereka. Tapi, kalau pada akhirnya lahan itu masuk dalam kawasan ya harus dikembalikan ke masyarakat, tidak ada tawar-tawar lagi,” terang Sandae. (Mto/kn)</p>