Konflik investasi di sektor perkebunan kelapa sawit harus disikapi dengan bijak, para pihak pengambil keputusan mesti bersikap adil, masyarakat yang menjadi korban haruslah diposisikan sebagai korban yang harus mendapat perlindungan dari negara. <p style="text-align: justify;">“Menyikapi konflik yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan, polisi yang menangi perkara terkait hukum haruslah bersikap adil, karena banyak juga laporan dari masyarakat yang masuk namun sepertinya kurang mendapat respon dari polisi,” kata Agus Sutomo, Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar pada kalimantan-news<br /><br />Ia mencontohkan mulai dari perampasan lahan atau pemalsuan tanda tangan warga seperti yang dialami Ajung di Desa Baras Sintang karena ada fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh pihak kepolisian dimana tanda tangan disurat persetujuan sangat berbeda dengan tanda tangan di KTP termasuk juga tanda tangan pada surat laporan perkara.<br /><br />“Nah sekiranya pihak kepolisian bisa segera bertindak, jangan pilih kasih dalam menegakan hukum,” tukasnya.<br /><br />Selain itu ketika ada intervensi dan intimidasi yang terjadi dan dialami masyarakat sudah seharusnya direspon dengan baik oleh polisi. <br /><br />“Polisi seyogyanya tidak bisa menjaga atau menjadi security di perkebunan sawit skala besar sebelum perusahan tersebut izin operasional secara keseluruhan, sehingga tidak benar kemudian pihak polisi lebih agresif menerima laporan pihak perusahan di bandingkan laporan masyarakat,” ujar Tomo.<br /><br />Ia juga meminta Pemerintah Kabupaten Sintang harus tegas terhadap perusahan yang melanggaran aturan yang ada dan jangan berfikir hanya PAD karena bisa dilihat sebenarnya berapa besar PAD yng didapat dari izin perkebunan yang ada dibanding keresahan warga.<br /><br />“Saya malah curiga ada indikasi permainan dalam meyikapi konflik-konflik perkebunan yang ada sehingga pemerintah terkesan lambat merespon gejolak yang ada, sementara pihak kepolisian lebih responsif pada laporan pihak perusaahan yang sejujurnya ketika merujuk pada regulasi yang ada telah banyak hal yang dilanggar,” kata dia.<br /><br />Untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang menurutnya bisa saja membuat pansus mengenai kasus-kasus perkebunan, namun kerja-kerja ini harus dilandasi dengan moral dan hati bukan kepentingan kapital.<br /><br />“Saya masih punya kenyakinan bahwa anggota DPRD Sintang masih punya hati dan moral yng baik untuk meyelesaikan kasus perkebunan yang ada dengan membuat pansus,” ucapnya.<br /><br />Ia malah meminta pemerintah daerah maupun kepolisian mencermati kembali regulasi yang menyangkut investasi perkebunan beserta aturan pendukung lainnya sehingga sangat diharapkan dalam dalam bertindak bisa menggunakan rasionalitas dan kesetaraan di depan hukum. <br /><br />Menurutnya, ada pendekatan Free and Prior Informed Consent (FPIC) dalam investasi perkebunan sebagai salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak ulayat masyarakat adat.<br /><br />“Mekanisme ini dimaknai sebagai persetujuan bebas tanpa paksa yang didahului dengan informasi memadai tentang sebab dan akibat suatu proyek, jadi menerima dan menolaknya masyarakat itu bukan atas dasar paksaan,” jelasnya.<br /><br />Menurutnya, jika dikaitkan dengan doktrin tanggungjawab negara dalam hak asasi manusia, maka mekanisme ini meliputi penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak luar terhadap masyarakat tersebut.<br /><br />“Saya kira pendekatan seperti itu penting dilakukan untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain, juga merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas hak ulayatnya, menjaga keberlanjutan lingkungan dan bisa menghadang kerusakan lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi yang cenderung hanya mencari keuntungan,” pungkasnya. <strong>(phs)</strong></p>