Skema Pungutan Ekspor Karet Kurang Tepat

oleh
oleh

Pemerintah dinilai kurang tepat mengambil langkah pungutan ekspor karet. Pasalnya, harga karet kini sedang di level rendah. Apalagi, saat ini devisa karet sedang turun dari 11 miliar USD menjadi 6,5 miliar USD. <p style="text-align: justify;">Penilaian ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya, Senin (18/12/2017). Pemerintah sendiri berkilah langkah ini untuk meningkatkan produktivitas karet dan kesejahteraan petani. Ditanggapi Heri, peremajaan karet memang baik, tapi biayanya jangan sampai membebani petani. Harga karet sedang tidak kompetitif.<br /><br />Seperti diketahui, dalam rapat Kementerian Koordinator Perekonomian, pemerintah berencana mengutip pungutan ekspor karet sebesar Rp 200/kg. Usulan ini juga kelak akan disampaikan ke parlemen. Anggota F-Gerindra itu mengeritik, kebijakan ini jelas akan menjadi beban. "Dengan harga komoditas yang berkisar Rp20.250/kg, jika diterapkan 1 persen atau 1,13 persen pungutan, maka nominal pungutan setiap kilogramnya berkisar antara Rp 200 sampai Rp 230," ucapnya.<br /><br />Pemerintah, sambung Heri, mestinya berusaha bagaimana mengatasi harga karet yang rendah. Padahal, Indonesia adalah penghasil karet dunia terbesar kedua yang memiliki luas area 3,5 juta hektare di mana 85 persennya merupakan perkebunan karet rakyat. "Pungutan itu tentu akan menjadi beban petani kecil di tengah-tengah naiknya harga bahan bakar minyak dan kebutuhan pokok, serta biaya listrik."<br /><br />Selain itu, Heri juga memandang bahwa pengelolaan dana pungutan yang akan dikelola oleh Pengelola Dana Perkebunan, perlu dipikirkan secara matang mulai dari dasar hukum sampai skema pengelolaannya. "Jika tidak, ini akan kontraproduktif dengan usaha pemerintah yang gencar memberantas pungutan liar," tutup politisi dari dapil Jabar IV ini. (mh.mp) <br /><br />Sumber:http://www.dpr.go.id</p>