Sudibyo: Pajak Penghasilan Yang Tinggi Untuk Keadilan

oleh
oleh

Ada yang keliru dalam penafsiran dan praktik fungsi pajak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Begitu menurut pakar dan pengajar senior perpajakan Universitas Airlangga, Drs. Sudibyo MM. <p style="text-align: justify;">Tidak seperti negara-negara dengan sistem perpajakannya dari era ke era semakin maju sehingga memenuhi unsur keadilan dan pemerataan, sistem perpajakan Indonesia dirancang dengan menomorsatukan fungsi budgeter (anggaran), padahal fungsi utama pajak adalah redistribusi pendapatan.  <br /><br />“Di Indonesia, fungsi ini dibalik, yang utama malah menjadi fungsi budgeter. Sisi penerimaan negara menjadi lebih diutamakan," kata Sudibyo.<br /><br />Pengubahan titik berat fungsi pajak ini didorong oleh ketimpangan dalam penerimaan pajak, terutama semasa pemerintahan rezim Orde Baru, dan tidak lagi tergantungnya penerimaan Indonesia kepada minyak dan gas.  <br /><br />Pemerintah kemudian mengenalkan reformasi perpajakan nasional pada 31 Desember 1993. "Reformasi itu dilakukan karena sebelum masa itu penerimaan pajak rendah sekali," kata Sudibyo.<br /><br />Sebelum reformasi dikenalkan, total penerimaan pajak semasa 32 tahun pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan mantan presiden Soeharto, hanya Rp20 triliun.  Tetapi, setelah reformasi dikenallkan, jumlah penerimaan melonjak pajak seketika melonjak. Bahkan pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri angkanya menjadi sekitar Rp1.000 triliun.  "Sekarang penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp1.000 triliun per tahun atau sekitar Rp4 triliun per hari," kata pakar pajar Universitas Airlangga ini.<br /><br />Namun, karena penerimaan dari pendapatan minyak dan gas tidak lagi menjadi yang utama dalam Angkatan Pendapatan Belanda Negara (APBN), proporsi penerimaan pajak pun menjadi 78 persen dari APBN. "Fungsi APBN pun menjadi yang utama, padahal seharusnya tidak begitu," kata Sudibyo.<br /><br />Pengubahan artikulasi fungsi ini dinilai Sudibyo secara teoritis tidak adil bagi pembayar pajak, karena pembayar pajak dipaksa mencapai target angka Rp1.000 triliun. "Padahal pajak tidak mengenal target," kata dia.<br /><br />Menurut Sudibyo, prinsip pajak itu adil proporsional.  "Sesuai daya pikul pembayar pajak. Anda berpenghasilan besar, maka besar pula kewajiban pajaknya, sebaliknya Anda berpenghasilan kecil maka kecil pula kewajiban pajaknya."<br /><br />Sudibyo melihat prinsip itu tidak berlaku di Indonesia, padahal menurut dia, konsep proporsional dan keadilan dalam pajak itu terletak pada pengenaan pajak badan berupa Pajak Penghasilan (PPh), dan bukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).<br /><br />Menurut dia, jika Indonesia ingin menekankan asas keadilan dan proporsional dalam alokasi pajak, maka yang harus dikedepankan adalah PPh. "Sayangnya PPh kita hanya 5-30 persen, padahal negara-negara yang maju perpajakannya seperti negara-negara Skandinavia, PPh mereka di atas 60 persen," kata Sudibyo.<br /><br />Keterbatasan ini, sambung dia, membuat upaya ‘mencari celah’ terlihat dominan, sehingga mengabaikan keadilan. Padahal, pajak itu proporsional, memperhatikan kecil dan besar kemampuan membayar pajak warga negara, dari pusat sampai daerah.  "Kita hanya ingin mengejar penerimaan, tanpa mempedulikan unsur keadilan, akibatnya daerah-daerah dipaksa memenuhi target penerimaan pajak."<br /><br />Situasi demikian membuat unsur keadilan terkesampingkan, sementara di sisi lain kondisi ini ikut memciicu rendahnya rasio pajak (tax ratio) Indonesia.  "Dan tax ratio yang rendah ini membuat Indonesia menjadi surga bagi penyelundup pajak," kata Sudibyo.<br /><br />Dia melanjutkan, unsur rasio pajak ini menjadi indikator ketaatan pajak komunitas pajak.  Di negara-negara berasio pajak tinggi, bahkan termasuk Thailand yang mencapai 16 persen dan Malaysia yang rasio pajaknya lebih tinggi lagi, negara bisa mengoptimalkan potensi perekonomian dan sekaligus kedisiplinan pembayaran pajak. <br />&lt;br />"Seharusnya pajak itu berprinsip pada potensi perekonomian dan perlu adanya pemerataan. Asas pajak untuk pemerataan dan keadilan kurang diperhatikan, karena untuk target penerimaan semata," ulang Sudibyo.<br /><br />Untuk itu pula Sudibyo menganggap negara semestinya memperbesar pengenaan pajak badan PPh, terutama untuk memenuhi unsur pemerataan keadilan pajak itu.  Situasi umum pada sistem perpajakan mana pun, dan bahkan menjadi indikator perkembangan ekonomi nasional sebuah negara.<br /><br />"Makin maju sebuah negara, makin besar penerimaan PPh-nya," kata dia.  "Sementara di kita (Indonesia) stagnan."<br /><br />Sudibyo tidak memungkiri bahwa pada banyak bagian, arah redistribusi pendapatan sudah benar, namun dia melihat secara umum aturan mengenai pajak mesti direformasi demi pemenuhan keadilan dan redistribusi pendapatan tersebut.<br /><br />Dalam kerangka ini, Sudibyo melihat peran DPR sangat sentral dalam memperbaiki UU perpajakan yang ada sekarang, terutama soal formulasi besaran dan tariff PPh.  "PPh badan kita diubah menjadi progresif, padahal  semestinya proporsional. Sistem progresif membuat beban pajak yang profit besar disamakan dengan yang profitnya kecil," kata Sudibyo.<br /><br />Yang paling penting lagi, sambung Sudiyo, jika keadilan pajak ingin dirasakan semua kalangan masyarakat, maka sistem pengelolaan pajak dan informasi dibuat integral dan menyatu.  "Kita harus total football," kata dia merujuk sistem permainan sepakbola timnas Belanda yang menekankan totalitas peran semua lini.<br /><br />Menurut dia, Direktorat Jenderal Pajak harus didukung semua instansi terkait, baik di daerah maupun pusat. Sistem informasi dan pelayanan harus terintegral dengan semua instansi, sehingga pelayanan pajak berjalan efisien dan optimal. Dia mencontohkan apa yang berlaku di Bali di mana kehadiran warga negara asing di sana yang seharusnya menghasilkan devisa bagi Indonesia, justru menarik uang Indonesia karena mereka bekerja dan berdagang di sana.  "Semestinya Direktorat Jenderal Pajak, Imigrasi dan Kepolisian bekerjasama erat mengatasi hal ini," kata dia.<br /><br />Pada tingkat nasional, dia menilai sistem koordinasi antarlembaga kurang sinkron sehingga kebocoran pajak dihindarkan dan kemanfaatan pajak dirasakan semua kalangan masyarakat. Sudibyo juga melihat terjadi perebutan penerimaan antara pusat dan daerah karena tidak ada keseragaman sistem informasi. Padahal, antardepartemen seharusnya saling menginput data.  “Selama ini semua data itu tidak terdeteksi, sehingga untuk keputusan pajak tidak  seragam,” kata Sudibyo.<br /><br />Dalam tataran ini, Sudibyo secara implisit menekankan transparansi data pajak sehingga tidak saja wajib pajak dan masyarakat menjadi yakin membayar pajak adalah hal kontributif bagi pembangunan nasional, namun juga demi penggunaan uang pajak terawasi sehingga pihak berwenang benar-benar menggunakannnya secara benar untuk keadilan sosial. <strong>(das/ant)</strong></p>