Volume Sampah Meningkat, Kadis LH Akan Buat Trobosan Baru

oleh
oleh
Edy Harmaini

SINTANG, KN – Volume sampah di Kota Sintang, kian hari semakin meningkat.Jika tidak dilakukan langkah antisipatif dan inovatif, maka sampah rumah tangga akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sintang, mencatat sampah yang dihasilkan dari rumah tangga di Kota Sintang, per tahun mencapai 200-400 ribu meter kubik pertahunnya.

Sementara, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berada di Nenak Tembulan, daya tampungnya sudah nyaris penuh.

“Sampah jadi problem di perkotaan. Sekarang TPA kita sudah hampir penuh. Kira-kira tinggal setahun lagi. Sementara kami belum punya tempat lagi. Rencana TPA di Jerora, belum ada kepastian. Karena di sana rencananya akan dibangun kantor gubernur Kapuas raya. Ndak mungkin berdampingan,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sintang, Edy Harmaini.

Menurut Edy, pihaknya harus berpikir keras, bagaimana menanggulangai sampah tidak hanya sekadar mengangkutnya dari TPS ke TPA.

Kepala dinas yang belum genap 1 tahun menjabat ini, menawarkan gagasan pengelolaan sampah dengan pola partisipasi masyarakat dengan melibatkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) tingkat desa dan kelurahan.

Gagasan itu, sudah digulirkan Edy dan disambut baik oleh Kelurahan Kapuas Kanan Hulu, Kecamatan Sintang.

“Lima tosa sudah siap. Katanya, ada 17 RT mau bergabung. Itu hal yang menarik,” katanya.

Ide Edy, sederhana. LPM yang ada di desa atau kelurahan, membentuk satu unit khusus pengelolaan sampah.

Anggotanya bisa saja 6 orang, modalnya, hanya pakai tosa, sepeda motor roda tiga dengan bak terbuka di belakangnya.

“Nanti kami berikan izin pengangkutan sampah. Jadi, masyarakt cukup meletakan sampah di depan rumah masing-masing. Yang akan mengambil dan mengakutknya ke TPS, anggota LPM gunakan Tosa,” ungkap Edy.

Soal biaya oprasional dan retribusi dan pendapatan desa, hitungan kasar Edy, warga hanya cukup mengikhlaskan Rp 1000 rupiah per harinya. Setiap bulan, warga hanya membayar retribusi biaya pengangkutan sampah sebesar Rp 25 ribu rupiah kepada LPM.

“Misalnya 25 ribu rupiah per rumah, kemudian 5 ribu kembali ke kas daerah, 20 ribu untuk organisasi LPM. Kalau satu kelurahan ada 1000 rumah, itu sudah Rp 20 juta per bulan,” katanya.

Pendapatan LPM, bukan hanya dari retribusi, tapi juga pemilahan dan pengolahan sampah.

Sampah yang masih ada nilai ekonomi, seperti kaleng, kardus dan lain sebagainya, bisa dipilah kemudian dijual ke Bank Sampah.

“Belum lagi, pengolahan sampah organik. Itu bisa kerjasama dengan Bruder. Jadi penghasilan LPM itu ada 3. LPM perbulan 30-40 juta. Modal cuma 2 atau 3 tosa, untuk angkut,” beber Edy.

Selain berdampak pada keuntungan ekonomi, pengelolaan sampah dengan pola partisipasi masyarakat dengan LPM, juga berdampak terhadap banyak hal.

Yang pasti kata Edy, LPM bakal tumbuh. Kebersihan lingkungan, kesehatan masyarakat terjaga dan pelayanan terjangkau.

“Kemudian, umur TPA bisa lebih panjang. Kelurahan Kapuas kanan hulu sudah mau mulai,” tukasnya. (9s)