WALHI: Kejahatan Kehutanan Masih Terjadi di Kalteng

oleh
oleh

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah menilai kejahatan lingkungan masih banyak dilakukan perusahaan-perusahaan besar swasta yang beroperasi di provinsi itu namun belum ditindak tegas. <p style="text-align: justify;">Pelanggaran itu mulai dalam hal perizinan hingga masalah kawasan. Ini baru dari hasil pemantauan di 10 perusahaan, belum secara keseluruhan perusahaan besar swasta di Kalimantan Tengah ini," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Arie Rompas dihubungi dari Sampit, Selasa.<br /><br />"Kami mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di wilayah ini segera menindak tegas pelanggaran-pelanggaran itu," katanya.<br /><br />Belum lama ini Walhi memantau dan mengevaluasi perizinan 10 perusahaan yang sudah melakukan aktivitas. Pemantauan dilakukan terhadap status perizinan dan status kawasan wilayah Field Monitoring Moratorium yang ada di Kalimantan Tengah dengan cakupan lima kabupaten yaitu Pulang Pisau, Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur dan Seruyan.<br /><br />Beberapa kesimpulan yang diambil di antaranya, akibat ketidaksinkronan penggunaan ruang mengakibatkan banyaknya pelangaran atas status kawasan hutan di Kalimantan Tengah, dimana kasus lebih banyak didominasi oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kondisi ini diperparah dengan dukungan pemerintah daerah yang menerbitkan izin tanpa diikuti dengan tanggung jawab pengawasan atas aktivitas perusahaan tersebut.<br /><br />Arie menyebutkan bahwa aktivitas pemberian perizinan ini dilakukan bukan saja tindakan mal administrasi atau administrasi yang tidak prosedural, namun ada pula yang telah mengarah pada dugaan tindakan korupsi.<br /><br />Walhi Kalimantan Tengah sangat menyayangkan penegakan hukum tidak dijalankan secara konsekuen oleh aparat yang berwenang.<br /><br />Walhi menilai masih banyaknya temuan pelangaran hukum di sektor kehutanan di Kalimantan Tengah itu karena kurang maksimalnya pengawasan dari pemerintah daerah selaku pemberi izin.<br /><br />"Tanpa adanya pengawasan maka pelanggaran di bidang kehutanan tidak bisa ditindak sesuai peraturan yang berlaku. Walaupun surat-surat edaran sudah banyak diterbitkan mengenai penertiban perizinan terhadap perkebunan besar swasta di Kalimantan Tengah, bahkan pada SK pencabutan izin, namun sayangnya surat-surat ini tidak dibarengi dengan pengawasan secara berkelanjutan untuk memastikan apakah perusahaan yang dicabut izinnya benar-benar berhenti melakukan aktivitas atau tidak," ucap aktivis yang akrab disapa Rio ini.<br /><br />Menurutnya, ada beberapa aturan yang memungkinkan untuk mencabut perizinan yang tidak prosedural dari level Undang-Undang sampai Peraturan Menteri bahkan Surat Edaran dari pejabat setempat namun tidak mampu menjerat pelanggaran hukum yang di lakukan oleh perusahaan.<br /><br />Hasil monitoring Walhi Kalimantan Tengah, terdapat lima perusahaan yang melakukan aktivitas yang tidak prosedural namun tidak ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum. Selain itu ada satu perusahaan yang sudah mengatongi HGU (hak guna usaha) namun belum memiliki proses pelepasan kawasan hutan.<br /><br />Ada pula perusahaan yang sudah memenuhi prosedural namun masih melakukan aktivitas di kawasan gambut. Sementara itu, ada juga perusahaan beraktivitas dan mencaplok kawasan konservasi atau taman nasional yang berujung pada kerugian negara namun tidak pernah di berikan tindakan hukum.<br /><br />Dari keseluruhan perusahaan yang dilakukan pemantauan tersebut hampir semua perusahaan memiliki persoalan konflik dengan masyarakat sekitar, dimulai dari keberatan masyarakat atas pencemaran sungai, status hak tanah masyarakat yang digusur tanpa ganti rugi bahkan dugaan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh oknum aparat.<br /><br />Belum ada sanksi yang tegas terkait dengan pelanggaran moratorium sehingga tidak memberikan efek jera dan tidak mengambarkan kepastian hukum bagi wilayah moratorium, tegasnya.<br /><br />Untuk berbagai dugaan pelanggaran tersebut, Walhi Kalimantan Tengah menyampaikan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, melanjutkan moratorium hutan dengan membangun prasyarat dan indikator lingkungan dan sosial dengan memperkuat status hukum dari moratorium sehingga memiliki sanksi yang tegas dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak.<br /><br />"Perlu dilakukan identifikasi wilayah penting yang memiliki fungsi ekosistem dan sumber-sumber penghidupan rakyat seperti kawasan lindung masyarakat adat dan kawasan kelola masyarakat untuk perekonomian dan sumber pangan masyarakat melalui kebijakan lokal maupun nasional dan dimasukkan dalam kebijakan tata ruang wilayah," ujar Arie. <strong>(das/ant)</strong></p>