Sejumlah tempat wisata budaya dan alam di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, menarik untuk dikunjungi wisatawan mancana negara maupun lokal. <p style="text-align: justify;">Salah satu lokasi wisata dimaksud adalah wilayah Kecamatan Antang Kalang, yang ada di ujung utara Kabupaten Kotim.<br /><br />Nama kecamatan itu berasal dari nama sebuah keluarga besar yaitu Antang Kalang.<br /><br />Desa Tumbang Gagu, misalnya, memiliki pemandangan alam yang masih alami dan cukup menarik untuk dikunjungi.<br /><br />Ada dua daya tarik yang nampaknya layak untuk dijual sebagai ikon wisata alam dan budaya khas Suku Dayak, yaitu beberapa riam termasuk Sungai Kalang, yang letaknya juga berdekatan dengan wilayah Kabupaten Katingan.<br /><br />Selain itu, di Desa Tumbang Gagu tersebut juga terdapat sebuah Rumah Betang (rumah panjang suku Dayak) yang satu-satunya masih asli sejak didirikan sekitar 200 tahun yang lalu.<br /><br />Rumah Betang Tumbang Gagu dibangun pada 1870 dan selesai pada 1877 dengan ukuran 40 x 17 meter, terdiri atas enam kamar, setiap kamar bisa dihuni oleh beberapa kepala keluarga.<br /><br />Desa Tumbang Gagu sendiri terletak paling hulu Sungai Kalang yang juga salah satu anak Sungai Mentaya, dan bermuara di Desa Tumbang Kalang, ibu kota kecamatan.<br /><br />Rumah Betang tersebut awalnya didirikan oleh Keluarga Besar Singa Jaya Antang Abraham Lambang atau bergelar Atang Kalang, yang ketika ratusan tahun lalu (1870-an) berkuasa hampir di seluruh daerah aliran sungai (DAS) Kalimantan Tengah hingga ke Kalimantan Barat.<br /><br />"Hingga saat ini betang tersebut masih berfungsi dan dihuni setidaknya oleh 5 keluarga, yang jika berkumpul bisa mencapai 100 orang," kata Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Antang Kalang, Hermas Bintih Assan, yang juga keturunan ke-4 dari mendiang Antang Kalang.<br /><br />Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kotim, Calon I Ranggon mengatakan, wisata budaya di Kabupaten Kotim tidak lepas dari pengaruh Agama Kaharingan yang memiliki beberapa situs penting dan sakral seperti Tiang Pantar, Sapundu dan Sandung.<br /><br />Benda-benda tersebut terdapat di sejumlah kecamatan dan merupakan kelengkapan yang dibuat melalui upacara Tiwah (Kematian dalam Agama Kaharingan).<br /><br />Sandung adalah tempat menyimpan kerangka manusia suku Daya yang memeluk agama Hindu Kaharingan, terutama bagi para pendahulu yang sudah meninggal dunia.<br /><br />Sapundu adalah tiang berbentuk patung manusia tempat mengikat hewan kurban. Patung ini menggambarkan sosok pendahulu ketika hidup. Tiang Pantar adalah yang biasanya didirikan di sisi kanan dan kiri Sandung diyakini penduduk setempat sebagai jalan bagi roh untuk menuju ke Lewu tatau atau nirwana.<br /><br />Komplek benda-benda sakral peninggalan Suku Dayak Agama Kaharingan itu banyak ditemui di beberapa kecamatan antara lain Kota Besi, yaitu di Dukuh Sati, Desa Tanah Putih, Desa Kandan, Palangan, dan di Kecamatan Telawang yaitu di Desa Sebabi, di Kecamatan Mentaya Hilir Utara di Desa Pondok Damar.<br /><br />Di antara desa-desa tersebut ada beberapa desa yang menarik dikunjungi, apabila ingin melihat lebih dekat keberadaan Sandung, Sapundu, dan Tiang Pantar. Pertama Desa Tumbang Koling Kecamatan Antang Kalang, Sandung di daerah cukup banyak dengan berbagai macam bentuk dan ukiran serta coraknya.<br /><br />Ada yang bercorak kuno, ada juga modern yang sudah mengalami perubahan dan modernisasi seperti patung yang sedang memegang senjata dengan raut muka orang asing berhidung mancung dan mengenakan seragam tentara pada masa jaman penjajahan Belanda.<br /><br />Selanjutnya komplek Sandung Desa Bukit Batu di Kecamatan Cempaga Hulu. Sandung di sini dominan dengan arsitek kuno, meski belum tertata rapi keberadaan Sandung di sini terbilang unik, karena tidak jauh dari komplek pemakaman muslim dan masjid. Hal ini juga menunjukkan adanya kerukunan warga yang sudah terjalin sejak zaman dahulu.<br /><br />Kemudian komplek Sandung yang cukup mudah dijumpai yaitu Sandung di Rubung Buyung, Sandung di sini terletak dipinggir jalan negara dan ada yang bergaya artistik serta modern.<br /><br />Sandung yang pertama milik keluarga besar Dewar yang jasadnya sudah berusia ratusan tahun. Selain itu di seberangnya, juga terdapat Sandung milik keluarga Dampa, dan kedua sandung itu dibangun dengan dana yang sangat besar dan dengan upacara tiwah pengangkatan kerangka yang digelar selama 7 hari 7 malam.<br /><br />Komplek Sandung lainnya yaitu berada di Desa Bajarum. Sandung di sini milik keluarga besar Dewie Dues Ahad dan masih berasitektur kuno. Sandung ini terbilang masih asli dan di dalamnya disemayamkan kerangka almarhum Ahad.<br /><br />Selain benda-benda sakral tersebut, ada juga beberapa tempat yang dianggap keramat dan layak dijadikan tempat wisata religi, meski sudah dipengaruhi oleh masuknya Agama Islam, yaitu komplek makam tua yang ada di Kota Besi, kemudian objek wisata religi di Desa Pelangsian Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, makam Datu Anang Zumain, yang sudah diramaikan oleh aktivitas ziarah masyarakat sejak 20 tahun silam.<br /><br />Kemudian, di lokasi Wisata Religi Sungai Lenggana ke darah Selatan Kecamatan Mentaya Hilir Utara, terdapat beberapa komplek makam tua yaitu Syekh Basyiri Bin Syahdullah yang wafat tahun 1500 an dan H Abdul Rahman bin H Abdul Bugis keturunan Bugis yang wafat pada tahun 1691.<br /><br />Meski belum memiliki fasilitas wisata dan hiburan yang terkonsep secara modern, Kota Sampit memiliki daya tarik tersendiri yang selama ini masih menjadi andalan Pemerintah Daerah untuk menarik wisatawan.<br /><br />Salah satunya kawasan kota yang berada di pinggir Sungai Mentaya, yang terpusat di dermaga Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM).<br /><br />Letak dermaga PPM terbilang cukup strategis, berada di paling timur Kota Sampit, di tengah kawasan pusat perdagangan Kota Sampit dan banyak menyajikan kebutuhan para pengunjung meski pengelolaannya masih terkesan tradisional.<br /><br />Tempat ini cukup ramai dengan para pelancong lokal terutama pada sore hari menjelang matahari terbenam. Selain menikmati pemandangan ke arah Sungai dan Kecamatan Seranau yang ada di seberangnya, para pengunjung juga bisa berinteraksi satu sama lain sambil mendapatkan berbagai macam sajian kuliner tradisional yang disajikan pedagang kaki lima.<br /><br />Kawasan yang terletak berdekatan dengan dermaga tambat labuh kapal mesin dan dermaga kelotok ini, terasa lebih nyaman dan santai ketika dikunjungi saat sore hingga sekitar pukul 22.00 malam hari.<br /><br />Persis di dermaga kecil yang berada di depan kawasan PPM, terdapat dua perahu terapung yang digandeng jadi satu dan di atasnya ditaruh sebuah rumah dengan atap yang khas.<br /><br />Perahu ini disebut perahu wisata dan sejak tahun 2007 hingga kini masih saja menjadi andalan Pemerintah Kabupaten dalam hal mempromosikan potensi wisata khususnya di Kota Sampit.<br /><br />Perahu ini bisa difungsikan untuk bersantai sambil menikmati hidangan kuliner dan mendengarkan ‘live music’. Tidak hanya diam di dermaga, perahu yang semuanya terbuat dari kayu ulin (kayu besi) ini juga bisa digunakan untuk menyusuri Sungai Mentaya yang melalui Kota Sampit dan sambil menikmati panoramanya.<br /><br />Disbudpar Kabupaten Kotim sebagai pengelola kapal tersebut juga merilis kapasitas dan nilai harga yang harus dibayar oleh wisatawan ketika ingin menggunakan kapal tersebut.<br /><br />Dalam traveling rate disebutkan, bahwa 1 kali berlayar dikenakan tarif mulai dari Rp750 ribu untuk satu kapal. Kemudian untuk tarif perorangan Disbudpar Kotim juga menetapkan untuk umum 35 ribu per orang, mahasiswa Rp 25 ribu per orang dan pelajar Rp 10 ribu per orang.<br /><br />Di perahu itu juga ada beberapa awak, yang bisa menyediakan hidangan minuman dan kuliner termasuk menyajikan ‘live music’ organ tunggal dengan beberapa artis lokal, hingga mempersilahkan wisatawan untuk bernyanyi. Kapasitas maksimal perahu ditetapkan maksimal 60 orang.<br /><br />Selanjutnya objek wisata alam di daerah itu ada tiga tempat yang menarik untuk dikunjungi yang pertaman objek wisata di Desa Besawang, lokasi tersebut terdapat habitat kera langka berhidung mancung yaitu Bekantan dan sebagai pusat pembuatan gula dari bahan kelapa. Untuk melihat dari jarak dekat kumpulan Bekantan tersebut memang terbilang cukup sulit, karena untuk mencapai lokasi hanya tersedia jalan setapak kecil dan jembatan dari kayu titian.<br /><br />Kalau mau melihat, waktunya di saat pagi hari sebelum mereka pergi ke hutan mencari makan dan pada saat sore hari menjelang senja. Saat itu kebanyakan mereka turun ke pantai dan bertengger di dahan pohon rambai (jenis pepophonan mangrop), katanya.<br /><br />Selain Bekantan, di sana ada terdapat kera lutung yang bulunya agak bewarna kehijauan, dan sering bergabung bersama dengan Bekantan.<br /><br />Kemudian, satu objek wisata lagi yang terbilang baru-baru ini diangkat menjadi salah satu potensi di Kabupaten Kotim yaitu Danau Burung, yang berada di Desa Lempuyang, sebelum masuk ke wilayah Pantai Ujung Pandaran.<br /><br />Danau ini berada di tengah gurun pasir yang cukup luas dikelilingi pepohonan perdu. Luas danau ini tidak kurang dari 100 hektar, dan uniknya ada beberapa pulau rawa di tengah danau, baik ukuran kecil dan ukuran besar.<br /><br />Pulau rawa tersebut digunakan oleh burung-burung yang tinggal di tempat itu untuk bersarang, menyimpan telur dan membesarkan anak-anaknya. Kebanyakan burung yang bersarang di tengah danau itu adalah burunglaut pemangsa ikan, temasuk ikan di danau tersebut.<br /><br />Selain terdapat burung, danau tersebut juga banyak menyimpan potensi perikanan bahkan hingga menjadi habitat hewan buaya dan berbagai jenis tanaman yang tumbuh.<br /><br />Sementara itu, objek ketiga adalah Pantai Ujung Pandaran. Pantai ini terbilang asri dengan pasirnya yang putih, dan menghadap ke laut Jawa. Pantai ini dapat ditempuh dengan waktu dua jam melalui jalan darat dari Kota Sampit.<br /><br />Sedangkan melalui transportasi sungai bibir pantai bisa dicapai dalam waktu 7 jam perjalanan. Bagi pelancong yang ingin lebih lama tinggal di pantai yang juga terdapat kampung para nelayan itu sudah disediakan fasilitas berupa bangunan vila dan bentuk rumah betang.<br /><br />Vila ini posisinya terbilang cukup bagus karena menghadap ke laut dan bagi yang menginap akan dikenakan tarif bermalam mulai dari Rp150 ribu, dengan fasilitas standar, seperti listrik, air tawar, tempat dan peralatan memasak sehingga wisatawan bisa tinggal untuk beberapa hari.<br /><br />Selanjutnya objek wisata budaya, dalam satu tahun sekali, ada 5 agenda seremonial pariwisata yang bernuansa budaya dan agamis yang digelar menjelang pertengahan tahun hingga akhir tahun, yakni Upacara Tiwah, Upacara Mandi Safar, Acara Maayun Anak, Upacara Mampakanan Sahur dan Mamapas Lewu, hingga Upacara Simah Laut.<br /><br />Upacara tiwah sendiri merupakan upacara adat agama hindu Kaharingan. Upacara asli Suku Dayak Ngaju ini biasanya digelar secara bergantian oleh Disbudpar di 13 kecamatan pada bulan Juni atau Juli. Upacara ini juga dikenal dengan upacara memperingati kematian.<br /><br />Bagi penganut agama Kaharingan, upacara ini wajib dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup dengan tujuan untuk menghantarkan roh yang sudah meninggal ke Lewu Tatau (nirwana) untuk menghadap Ranying Hatala Langit (Tuhan yang Maha Esa).<br /><br />Di samping itu dipercayai juga untuk melindungi keluarga yang masih hidup dari gangguan roh-roh jahat untuk memperoleh berkah si mati, serta untuk menyenangkan si mati.<br /><br />Upacara Mampakanan Sahur yang juga merupakan warisan agam Hindu Kaharingan, dilaksanakan dalam rangka untuk memberikan persembahan atau sesajen kepada sahur roh-roh gaib. "Sahur" diartikan sebagai kelompok roh-roh gaib yang mempunyai kekuatan dan kemampuan supranatural, merupakan manifestasi dari kekuasaan Ranying Hatala Langit.<br /><br />Acara ini kerap dirangkai dengan upacara Mamapas Lewu yang digelar beriringan antara bulan September dan Oktober, yang dipusatkan di Taman Miniatur Budaya Jalan Sudirman kilometer 3,2 Sampit.<br /><br />Mamapas Lewu sendiri, juga digelar untuk bertujuan membersihkan alam dan lingkungan hidup (Petak Danum) beserta segala isinya dari berbagai sengketa, mara bahaya, sial, wabah penyakit, dan untuk menciptakan suasana panas menjadi dingin dan gerah menjadi sejuk.<br /><br />Acara ini cukup banyak menarik perhatian wisatawan, karena digelar setiap permulaan musim barat yaitu antara bulan Oktober, November dengan bertempat di Pantai Ujung Pandaran, Kecamatan Teluk Sampit.<br /><br />Upacara ini telah dilaksanakan sejak puluhan tahun silam sebagai tradisi yang terus berlanjut dari desa-desa asal penduduk Ujung Pandaran.<br /><br />"Simah laut ini maknanya yaitu upacara pendekatan masyarakat terhadap laut secara gaib dengan maksud supaya segenap unsur yang menghuni laut dapat diajak berkompromi dan bersikap ramah terhadap manusia," katanya.<br /><br />Sementara itu, upacara Mandi Safar, rutin digelar setiap tahun pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar (bulan kedua dalam kalender Hijriah), dan dipusatkan di Sungai Mentaya yang melewati Kota Sampit dan sekitarnya.<br /><br />Masyarakat yang melakukan mandi Safar ini percaya bahwa dengan mandi menceburkan diri ke Sungai Mentaya, akan menyucikan tubuh sekaligus jiwa dari sifat atau watak jahat, dengki, hasut, fitnah atau adu domba dan sifat jahat lainnya. Selain itu dipercaya juga untuk menghilangkan sial.<br /><br />Acara seremonial lainnya yang tidak kalah menarik yaitu Maayun Anak. Upacara ini dilakukan bagi keluarga yang baru memiiki bayi terutama dari yang berusia 7 hari. Maksudnya Maayun anak ini adalah, sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadiran si anak dan harapan bagi masa depan si anak.<br /><br />Semuanya itu menggambarkan bahwa Kotim dengan aneka keindahan alamnya, juga kaya akan tradisi budaya bernilai jual, khususnya di bidang kepariwisataan. <strong>(das/ant)</strong></p>