Yunusno Sanggah Pernyataan WPP

oleh
oleh

Sejumlah pernyataan yang disampaikan pihak PT Wahana Plantations and Product disanggah Yunusno, ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Dedai lantaran kronologis yang disampaikan tersebut banyak terdapat kejanggalan. <p style="text-align: justify;">Menurutnya, soal tanah tempat mereka bekerja yang dikatakan di lahan milik pak Simpai tetapi ternyata ada juga lahan miliknya sekitar dua hektar yang ikut digarap perusahaan.<br /><br />“Kalau pak Simpai serahkan tertulis itu tak masalah, tapi yang tidak kita serahkan ikut digarap juga, jelas kami tidak terima,” ujarnya.<br /><br />Mengenai penahanan kunci alat berat, ia mengatakan hal itu berawal dari pertemuan dengan warga di Desa Baras yang ketika itu memang tidak melibatkan masyarakat Blinyuk Sibau karena kepentingannya adalah dengan pihak perusahaan.<br /><br />“Karena ketika itu pihak perusahaan tidak datang dengan alasan yang tidak bisa diterima, akhirnya masyarakat marah dan mengancam merusak sarana perusahaa, untuk meredam itu makanya alat beratnya ditahan dan kuncinya diambil,” kata dia.<br /><br />Kunci alat berat itu kata dia bukan dipegang olehnya tetapi oleh Gunalan yang jadi juru bicara masyarakat Langsat dan Blinyuk Sibau karena di Blinyuk Sibau itu ada juga masyarakat yang tidak menyerahkan lahan.<br /><br />“Saya sudah sampaikan  bahwa kunci alat berat itu tidak sama saya,” tukasnya.<br /><br />Kemudian dalam pertemuan itu pihak perusahaan mengatakan DAD Dedai tidak mengundang masyarakat pemilik lahan.<br /><br />“Padahal semua masyarakat itu sudah saya undang dan ada berita acara serta daftar hadir, kok dibilang saya tidak undang masyarakat,” jelasnya.<br /><br />Soal keputusan adat sepihak, menurutnya itu bukan sepihak karena putusan tersebut sudah melalui sidang dewan adat dan dalam kepengurusan itu sudah ada seksi bagian hukum adat istiadat yang sudah merumuskan jenis adat yang dilanggar.<br /><br />“Jadi bukan sepihak, tetapi sudah melalui proses, membuat keputusan di DAD itu tidak melibatkan masyarakat seluruhnya karena masyarakat sudah menyerahkan kepada kita, hasilnya seperti itu,” ungkapnya.<br /><br />Memang menurutnya, pada rapat kedua tanggal 16 Agustus itu rapat ditutup karena sudah malam dan kondisinya gelap sehingga dilanjutkan pada tanggal 21 Agustus.<br /><br />“Ketika itu disepakati untuk melanjutkan pertemuan pada 21 Agustus dengan tempat berbeda, langsung di lokasi kejadian, karena pukul 10.00 pagi sekolah itu kan dipakai, kami tak mau ganggu, jadi pertemuan langsung di lokasi,” kata dia sembari memperlihatkan pertemuan dilapangan yang juag dihadiri pihak perusahaan.<br /><br />Dalam pertemuan itu, setelah rapat berlangsung sekitar setengah jam dan diberi kesempatan untuk menanggapi, tetapi kata dia ketika itu perusahaan menghindar terkait putusan adat, mereka malah cerita segala kronologis yang tidak nyambung.<br /><br />“Lalu kami juga beri kesempatan kepada Gunalan sebagai pihak penuntut untuk berbicara, ia adalah juru bicara masyarakat, ketika itulah pihak manajemen perusahaan meninggalkan tempat kegiatan, kata merak tak aman, padahal muspika disitu masih lengkap,” bebernya.<br /><br />Soal pernyataan kalau pihaknya menahan staf WPP, ia menegaskan bukan menahan tetapi ketika itu tinggal Syahrial atau yang biasa disapa ucok yang tinggal dilokasi sehingga kami meminta ia menunggu dulu, masyarakat memintanya tetap bertahan karena ketika itu orang perusahaan lainnya sudah tidak ada lagi.<br /><br />“Saya bawa dia untuk melihat langsung bahwa alat itu kami tahan dulu sebelum ada penyelesaian karena pimpinan WPP meninggalkan pertemuan” ucapnya.<br /><br />Soal penahanan alat tersebut, menurutnya juag sudah dibuatkan surat pernyataan bersama yang ditandatangani dirinya dan Ucok serta saksi.<br /><br />“Intinya kami sepakat tidak akan mengganggu alat berat tersebut, hanya sebagai jaminan agar tuntutan masyarakat bisa dipenuhi perusahaan,” tegasnya.<br /><br />Mengenai nilai adat yang disebutkan perusahaan sampai Rp 890 juta sebenarnya tidak sampai sebesar itu, dan nilai tersebut bukan hanya denda adat tetapi termasuk ganti rugi kebun karet dan ganti rugi kerusakan tanah, nilai denda adat yang besar itu karena mereka telah melakukan hal yang sama dan pernah dituntut secara adat namun tak dibayar.<br /><br />“Dalam denda adat kita barangsiapa yang melakukan hal yang sama, maka denda adatnya lipat dua” kata dia.<br /><br />Mengenai pengecekan dilapangan yang tidak dilakukan, itu menurutnya bukan tidak dilakukan,  tetapi belum dilakukan karena belum waktunya, rapat belum selesai tetapi pihak perusahaan sudah bubar.<br /><br />“Kalau dilapangan tidak sesuai tentu denda adat bisa berubah, kita rapat kan ada urutannya, jadi ketika itu belum waktunya untuk pengecekan lapangan, begitu juga dokumen tertulis yang diminta ditandatangani perusahaan, bukan saya yang buat tetapi itu permintaan masyarakat,” imbuhnya. <strong>(phs)</strong></p>